Persaingan Cinta



Persaingan Cinta
Kamal Agusta

            Seperti dikejar setan, Alvo terburu-buru memasuki gedung kampusnya. Saking terburu-burunya ia langsung melompati dua anak tangga sekaligus. Entah apa yang membuatnya terburu-buru seperti itu. Takut terlambat masuk kelas? Hmm, sepertinya tidak. Karena mata kuliah Geometri Analitik baru dimulai setengah jam lagi.
            Alvo baru berhenti berlari saat sudah sampai di depan kelasnya. Sebelum masuk, ia sempat-sempatnya berkaca di depan kaca jendela. Dirapikannya rambut ikalnya yang sedikit berantakan. Ia juga menyengir, memeriksa giginya, takut ada cabe yang namplok karena tadi dia sarapan nasi goreng pedas kesukaannya. Setelah semuanya penampilannya terkendali, barulah Alvo melangkah masuk ke dalam kelas dengan senyum lebar.
            Namun, senyum lebar di bibir Alvo lenyap saat menyadari dirinya kalah cepat. Di dalam ternyata Rudi sudah menyambutnya dengan senyum kemenangan. Lalu Rudi berbicara tanpa suara. Kau kalah. Begitulah yang Alvo tangkap dari gerak bibir Rudi.  
Brengsek! maki Alvo dalam hati.
Alvo dan Rudi sebenarnya bersahabat. Namun, sejak semester baru ada persaingan yang terjadi antara mereka. Persaingan ini dipicu oleh gadis cantik bernama Latifa. Dua sahabat itu sama-sama menyukai Latifa. Makanya di setiap kelas Geometri Analitik mereka berpacu untuk datang paling cepat ke kampus. Tentu saja untuk merebutkan kursi di sebelah pujaan hati.
Alvo menjatuhkan tubuhnya di beberapa bangku dari posisi Latifa dan Rudi yang saat ini sedang asyik mengobrol. Sesekali Alvo melihat Latifa tertawa. Mungkin Rudi menceritakan sesuatu yang konyol pada gadis cantik itu.
Alvo mengurut dadanya yang terasa panas.  Hari ini ia terpaksa harus rela melihat Rudi yang curi-curi kesempatan pada Latifa.
***
            Rudi sedang main gitar ketika Alvo masuk ke dalam kamarnya.
            “Kita nggak bisa begini terus. Kita harus mengakhiri persaingan ini.” Alvo langsung menyuarakan maksud kedatangannya.
            “Syukurlah kalo lo sadar diri,” kata Rudi sambil memetik gitarnya.
            “Maksud lo?” Mata Alvo melotot.
            “Maksud gue, akhirnya lo sadar kalo lo nggak bakalan menang lawan gue untuk mendapatkan Latifa.”
            Alvo geram lalu menimpuk Rudi dengan majalah otomotif yang didapatinya di meja belajar Rudi. “Bukan itu maksud gue, kampret! Gini, kita buat sebuah perjanjian. Si—”
            “Perjanjian apa?” Rudi menyela cepat.
            Alvo sudah siap menimpuk Rudi lagi tapi nggak nemu apapun untuk menimpuk tuh cowok. “Dengerin gue dulu!” geram Alvo.
            “Oke. Oke!” Rudi meletakan gitarnya.
            “Begini, selama ini kan kita selalu bersaing untuk merebut perhatian Latifa. Tapi kita nggak tahu kan apakah tuh cewek punya rasa atau nggak sama kita? Rugi bandar dong kita bersaing mati-matian tapi ternyata Latifa nggak ada rasa sama salah satu dari kita. Sekarang gue ajakin lo bersaing untuk nyatakan cinta sama Latifa. Siapa yang pertama bisa nembak tuh cewek dan diterima maka dia pemenangnya. Yang kalah harus menerima kekalahannya dan berhenti mencuri-curi kesempatan merebut perhatian tuh cewek. Gue capek tau pagi-pagi lari-larian dari pakiran ke kelas hanya untuk rebutan kursi doang sama lo,” jelas Alvo.
            “Benar juga kata lo,” gumam Rudi mengangguk-angguk.
            “Gimana, lo setuju?”
            “Siapa takut!”
            Dua sahabatan itu saling berjabatan tangan sebagai tanda sepakat.
***
            Hari ini meski tidak ada kelas Alvo tetap pergi ke kampus. Ia harus menjalankan rencana yang sudah dipikirkannya sejak semalam secepat mungkin agar tidak kalah dari Rudi. Hari ini ia akan menemui Latifa yang ada kelas Kalkulus di ruang A6.10. Ternyata nggak ada ruginya Alvo menyalin jadwal kuliah tuh cewek.
            Alvo menunggu Latifa di depan kelas A6.10 karena kelas Kalkulus ternyata belum bubar. Saat kelas bubar lima menit kemudian, Alvo langsung bersiap-siap.
            “Ifa,” panggil Alvo saat cewek yang ia tunggu lewat di depannya.
            “Alvo,” Latifa tersenyum. Senyum yang membuat jantung Alvo berdegup kencang. “Ada apa?” tanya Latifa.
            “B-begini,” Alvo mendadak grogi. “Aku bisa minta tolong?”
            “Kalo Ifa bisa pasti  Ifa bantu.”
            “Entar malam aku boleh ke rumah kamu nggak?”
            Kening gadis cantik itu berkerut. “Memangnya kamu mau ngapain ke rumah Ifa?”
            Alvo menggaruk tengkuknya, “ Aku mau minta tolong diajarin sama kamu materi yang akan dikuiskan besok.”
            “Oh, begitu.” Latifa mengangguk-angguk. “Yaudah, datang aja entar malam ke rumah Ifa. Kita bisa belajar bareng.”
            Alvo berseru senang lalu mengucapkan terima kasih pada gadis cantik itu.
***
            Motor Alvo berhenti di depan sebuah rumah sederhana berpagar kayu. Ia mengeluarkan secarik kertas dari saku jaketnya. Membacanya sejenak lalu menatap rumah itu dengan senyum lebar.
            Tidak salah lagi. Ini rumahnya! bisiknya senang karena berhasil menemukan rumah Latifa.
            Saat Alvo memarkirkan motor di perkarangan rumah Latifa, senyum senang yang tadi tercetak di bibirnya lenyap saat mendapati motor Rudi sudah terpakir di sana. Ternyata ia kalah cepat lagi dari sohibnya itu.
            Alvo sudah berniat pulang dan melupakan rencananya malam ini untuk menyatakan cinta pada Latifa. Tapi, tiba-tiba ada suara yang bergema di kepalanya.
            Masa segitu aja lo nyerah? Apa lo rela begitu aja melepaskan cewek yang lo suka untuk sohib lo? Lo belum kalah, Vo! Lo masih punya kesempatan kalo lo mau usaha.
            Karena suara-suara di kepalanya itu, akhirnya Alvo memutuskan untuk masuk dan menemui Latifa. Ia harus berjuang demi cintanya.
            “Hai,” sapa Alvo saat Latifa membukakan pintu untuknya.
            Latifa menanggapi sapaan itu dengan senyum ramah seperti biasanya—senyum yang selalu menghiasi mimpi-mimpi indah Alvo—lalu mempersilakan Alvo untuk masuk.
            “Kebetulan Rudi juga ada. Mau belajar bareng juga katanya,” ucap Latifa yang dijawab Alvo dengan gumaman yang tidak jelas,
            Saat Alvo sampai di ruang santai—tempat mereka akan belajar—Rudi langsung menyambutnya dengan cengiran. Ingin rasanya Alvo mengutuk cowok itu.
            “Kalian mau minum apa?” tanya Latifa sambil menoleh pada Rudi dan Alvo.
            “Apa aja,” jawab Alvo.
            “Apapun yang kausajikan pasti akan kuminum,” jawab Rudi sambil mengerling. Latifa tersenyum menanggapinya.
            Latifa menyuruh Alvo dan Rudi untuk belajar duluan sementara ia membuatkan minuman untuk dua cowok itu.
            “Kenapa lo bisa di sini, ha?” desis Alo tajam. Matanya melotot menatap Rudi.
            “Tentu aja untuk memenangkan persaingan kita,” jawab Rudi nggak kalah tajam.
            “Nggak bisa!”
            “Apa yang nggak bisa?”
            “Lo menang!” tukas Alvo.
            Rudi sudah ingin membalas tapi keburu Latifa datang. “Kok belum dikeluarin bahannya? Katanya mau belajar.”
            “Ngg … gini a—” Alvo menjawab.
            “Aku mau bicara sesuatu sama kamu, Fa,” potong Rudi cepat.
            “Apaan sih lo motong-motong ucapan gue?” sentak Alvo berang.
            “Terserah gue!”
            “Nggak bisa. Gue yang duluan yang ngomong.”
            “Gue duluan!”
            “Gue duluan!”
            “STOP!” teriak Latifa menghentikan Alvo dan Rudi. “Kalian apa-apaan, sih?” muka Latifa merah karena kesal.
            “Rudi, tuh!” tuding Alvo.
            “Kenapa gue? Lo tuh yang cari masalah.”
            Tiba-tiba terdengar suara bayi menangis. Menghentikan perdebatan Alvo dan Rudi. Beberapa saat kemudian seorang wanita paruh baya datang membawa seorang bayi ke ruang santai. Wanita itu menyerahkan bayi tersebut sama Latifa.
            “Sini sama Bunda, sayang.” ucap Latifa penuh kasih. Rudi dan Alvo saling berpandangan.
            “Bunda?” tanya mereka berbarengan.
            “Ini anak aku,” jawab Latifa.
            “Anak?” Alvo dan Rudi masih bertanya serempak.
            “Jadi, kamu sudah menikah dan punya anak?”
            Latifa mengangguk. “Gara-gara kalian anakku jadi bangun. Maaf aku nggak bisa belajar bareng. Aku harus menidurkan anakku dulu.”
            Ada yang hancur berkeping-keping di dada Rudi dan Alvo. Wajah mereka mendadak lesu. Tak ada semangat. Kepala mereka tertunduk.
            “Ya udah, aku pamit pulang. Maaf membuat anakmu terbangun,” ucap Alvo bangkit dari posisi duduknya.
            “Aku juga pamit pulang,” Rudi ikut bangkit menyusul Alvo.
            Latifa mengangguk lalu mengantarkan mereka sampai depan pintu. Rudi dan Alvo pulang dengan perasaan kacau. Mereka tidak pernah menyangka cewek yang mereka perebutkan selama ini ternyata sudah menikah dan mempunyai anak.
            Sepertinya mala mini mereka tidak akan bisa tidur karena merenungkan apa yang telah terjadi.
***
            “Kok Mbak mengaku Dio anak Mbak, sih?” tanya Bi Sum, pembantu Latifa.
            Latifa tersenyum masam. “Abis aku jengkel sama mereka, Bi. Setiap ketemu aku selalu berantem nggak jelas. Padahal tadi katanya mau belajar. Tapi, malah berantem lagi.”
            “Bibi lihat mereka suka sama, Mbak,” goda Bi Sum.
            “Aku tahu. Tapi, sayangnya aku nggak suka mereka, Bi. Tingkah mereka kekanak-kanankan banget.”
            “Oh, jadi itu alasan Mbak mengaku sudah menikah dan punya anak?”
            Latifa tersenyum simpul lalu mengangguk. “Bisa dibilang begitu, Bi. Lagipula aku juga udah capek menghadapi mereka.”
            “Oalah, Mbak ini, ada-ada saja.”
            Latifa tertawa lalu menatap Dio yang sudah terlelap kembali. “Kak Tania dan Bang Erlan belum pulang, Bi?”
            Tiba-tiba terdengar bunyi derum mobil masuk ke pekarangan rumah.
            Bi Sum tersenyum. “Itu mereka pulang. Panjang umur ternyata.”
***

BIODATA PENULIS
Kamal Agusta, lahir dan besar di kota Pekanbaru, sembilan belas tahun silam. Bercita-cita memiliki buku yang bermanfaat bagi masyarakat. Saat ini penulis bertempat tinggal di jalan Hang Tuah Ujung RT 01 RW 09 Kelurahan Sail Kecamatan Tenayan raya Pakanbaru-Riau. 28285. Kamal dapat dihubungi melalui aku FB: Kamal Agusta, Email: agusta.kamal55@gmail.com dan Hp. 083186972428.