Nyanyian Luka




 Kali ini ada cerpen galau dari sahabat kita kamal lagi tentunya silakan di baca aja deh

Senja datang dengan matang. Matahari pelan-pelan menghujam bumi di ujung batas cakrawala. Dari garis pantai, aku bisa melihat dengan sempurna ‘Mata Dewa’  yang akan tenggelam di lautan.

    Dari kejauhan terdengar burung-burung camar melengguh, berterbangan di atas ombak yang berkejaran. Deburan ombak yang memecah bibir pantai mengoyak kesunyian. Angin laut berhembus kencang, memainkan anak-anak rambut ikalku.

Matahari perlahan tergelincir di kaki cakrawala. Sempurna ditelan lautan. Hanya menyisakan sedikit siluet jingga. Jejak-jejak kehidupan.
Tiba-tiba ponselku menjerit. Kuronggoh gadget mungil itu dari saku. Layar berkedap-kedip. Haikal calling.
Sesak kembali menghimpit. Menyibak hati. Perlahan, sesak itu menjalar bersama darah memenuhi seluruh sendi tubuh. Hanya membaca namanya saja, tubuhku melemas. Yah Allah …, tolong angkat sesak ini.

Aku tersungkur di pasir pantai yang dingin. Ponselku masih saja berbunyi. Tak tahu harus kuapakan untuk membungkamnya. Sekarang apa lagi mau lelaki itu? Tak cukupkah sayatan luka ini?

***
Tit tut tit tut!
Kuraih ponsel dari tas mungil yang tadi kuletakkan di atas meja. Sebuah pesan masuk.
Tunanganmu pengkhianat! PENGKHIANAT!
Tanganku bergetar membaca pesan yang tak kumengerti maksudnya. Kulihat pengirimnya. Nomor yang tidak dikenal. Siapakah? Apa maksud dari pesan ini?

“Sms dari siapa, Sayang?” Tanya Haikal lembut.
“Hanya rekan kerja, Sayang,” jawabku berbohong. Kusimpan kembali ponsel ke dalam tas.
Haikal menatapku mesra. Seulas senyum terukir di bibirnya yang selalu menggoda bagiku.
Malam ini Haikal mengajakku dinner di salah satu resto elit kawasan puncak. Resto ini begitu romantis dengan cahaya-cahaya lilin dan lantunan lagu Endless Love. Dari sini, kita merasa begitu dekat dengan langit. Kelap-kelip lampu kota terlihat seperti ribuan kunang-kunang di sebuah lembah.
Aku melirik lelaki yang empat belas hari lagi resmi menjadi imamku. Lelaki yang kukenal delapan tahun silam. Lelaki yang memenuhi hati ini dengan bunga-bunga cintanya. Lelaki yang begitu kucintai.

Haikal begitu sempurna bagiku. Berwajah tampan serta karir yang cemerlang. Tak ada celanya. Terlebih ia juga mencintaiku. Itu terlihat dari caranya memperhatikan dan selalu menomorsatukanku. Jadi, apa mungkin Haikal berkhianat?
Aku segera menghapus rasa curiga itu. Tak mungkin Haikal mengkhianatiku. Lagi pula tak lama lagi Haikal akan menikahiku. 

“Kamu ada masalah, Sayang?’ Haikal menggenggam tanganku. Menatapku dengan keteduhan yang menenangkan.
Aku tersenyum. “Nggak ada apa-apa, Sayang.” Kubalas genggaman hangat tangan Haikal.
“Benar? Aku lihat kamu seperti memikirkan sesuatu. Sebentar lagi kita akan menikah. Aku nggak mau ada rahasia di antara kita. Jika ada, bicaralah. Kita selesaikan masalah ini berdua.” Jemari Haikal kini mengelus pipiku.

“Terima kasih, Sayang. Aku hanya sedikit memikirkan pernikahan kita.”
“Pernikahan kita akan baik-baik aja. Aku janji.” Haikal bangun dari duduknya. Mendekat padaku lalu memelukku dari belakang. Kurasakan deru napasnya yang menggelitik tengkukku. Wajahku merona.
“Aku sungguh mencintaimu. Dahulu, hari ini dan esok selamanya. Cintaku makin besar padamu. Kamu tahu mengapa? Karena kuyakin kamulah tulang rusukku yang hilang. Wanita pilihan yang tercipta untukku,” bisik Haikal di telingaku.
Aku mengelus wajah Haikal. “I love you.”
“I love you too.” Sebuah kecupan hangat mendarat di pipiku.
***

Aku sungguh mencintaimu. Dahulu, hari ini dan esok selamanya. Cintaku makin besar padamu. Kamu tahu mengapa? Karena kuyakin kamulah tulang rusukku yang hilang. Wanita pilihan yang tercipta untukku.

Bisikan kata-kata manis itu terus mengusikku. Kata-kata yang melambungkanku. Kata-kata yang dulu selalu menjadikanku wanita paling bahagia.

Namun kini kata-kata itu seperti silet. Menyayat-nyayat hatiku. Melemparkanku pada lubang penderitaan. Aku benci kata-kata itu. Kata-kata manis yang ternyata beracun. Membinasakan seluruh kebahagianku.

“Kenapa harus aku yang menerima luka ini, Kal? Merasakan sakit ini?” Raungku.
Senyap. Debur ombak membungkus bibir pantai terdengar sendu.
Lima puluh jam sudah berlalu sejak luka itu ditorehkan. Sesak dan sakit olehnya belum juga menghilang. Berkurang sejengkal pun tidak.
Serunai kesakitan itu berdenting. Membawaku dalam lingkaran penderitaan.

***
Pesan misterius itu terus menerorku dengan kalimat yang sama: Tunanganmu pengkhianat! PENGKHIANAT!
Semula aku takut akan kebenaran isi pesan tersebut. Aku merasa tak siap jika itu terjadi. Aku terlalu jauh jatuh dalam cinta Haikal. Tak mau kehilangannya.
Namun, dengan sikap Haikal yang tetap perhatian padaku. Perlahan rasa takut itu hilang. Sms itu tak ada artinya lagi. Kuanggap kerjaan orang iseng. Bagaimana mungkin lelaki seperhatian Haikal akan berkhianat? Sungguh tidak mungkin!

Sore ini aku melajukan mobil menuju rumah Haikal yang terletak di Perumahan Grand Raya Sudirman. Aku sengaja pergi ke sana tanpa mengabari Haikal. Aku ingin memberinya kejutan manis sebelum pernikahan kami yang akan dilangsungkan dua hari lagi.

Sekotak Tiramissu cake terletak apik di atas dasbor. Haikal sangat menyukai kue rasa tiramisu. Aku tersenyum membayangkan wajah terkejut Haikal ketika mendapatkan kejutan manis ini.
Mobilku berhenti tepat di sebuah rumah minimalis yang tergolong mewah. Rumah ini baru dibeli Haikal dua bulan lalu. Haikal sengaja membeli rumah ini sebagai tempat tinggal kami setelah menikah.

Pelan, langkahku mulai memasuki pagar rumah yang tak terkunci. Kuputar handle pintu yang ternyata tidak terkunci juga. Dasar Haikal selalu saja lupa untuk mengunci pintu. Atau mungkin ia sudah tahu kedatanganku?

Aku terus saja mengendap-endap. Tak ingin menimbulkan sedikitpun kegaduhan. Suasana rumah begitu sepi. Ruang tamu, ruang tengah, dapur, tak ada seorang pun.
“Apa mungkin ia di kamar?” bisikku.
Aku menaiki undakan tangga menuju kamar Haikal yang terletak di lantai atas. Aku tetap melangkah pelan. Semeter lagi aku sampai di pintu kamar Haikal yang kulihat terbuka, tiba-tiba langkahku terhenti ketika mendengar percakapan dua orang dari dalam kamar.
“Aku mencintaimu, Kal. Lebih dari cinta Rasi padamu.”
Jatungku berdegup. Suara itu sangat kukenal. Begitu familiar di telingaku.
“Aku juga mencintaimu. Sangat mencintaimu.”
Deg! Ucapan itu sukses membuatku luruh ke lantai. Kotak kue yang kupegang ikut jatuh.
Itu suara Haikal. Suara yang selama ini membuatku mabuk mendengarkannya. Tapi mengapa sore ini suara itu seperti badai yang menghempaskanku?
“Aku ingin kamu membatalkan pernikah itu, Kal. Aku nggak bisa hidup tanpamu.”
“Andai aku bisa, aku juga ingin melakukannya. Aku lelah berpura-pura mencintainya. Tapi kita tak akan pernah bisa menikah.”
Pesan itu benar. Haikal mengkhianatiku. Ternyata Haikal juga tak pernah mencintaiku. Semua ini hanya kepura-puraan.

Sukses sudah hancur berkeping-keping hatiku. Airmata bergulir membasahi pipiku. Terhuyung, aku berusaha berdiri. Patah-patah aku melangkah ke kamar dimana lelaki yang kucintai itu bersama seseorang yang selama ini dicintainya.
Semeter terasa bermil-mil bagiku. Saat tubuhku sampai di ambang pintu, untuk kedua kalinya aku sukses dibuatnya shock. Di dalam, Haikal dengan rakus melumat bibir kekasihnya selama ini. Haikal terperanjat ketika menyadari kehadiranku. Haikal menatapku tak percaya. Sementara kekasihnya hanya menyeringai.
“R-Rasi?” Haikal menyebut namaku terbata.
Aku tergugu mendengar Haikal memanggil namaku. Seluruh sendiku teras lemas. Hatiku tercabik. Akhirnya aku tersungkur lagi di atas lantai yang dingin. Membekukan. Sebeku hatiku saat ini.

***
Rasa sakit akibat pengkhianatan itu seperti puluhan jerigen bensin yang dijilati lidah-lidah api. Cepat sekali membakar dan menghanguskan.
Aku berusaha untuk bangun. Membuang sakit ini. Menjauhkan diri dari lingkaran penderitaan. Aku ingin menghilang. Terlepas dari bayang-bayang Haikal.
Baru tiga langkah kucoba berjalan, tubuhku kembali limbung dan berdebam jatuh. Menghantam hamparan pasir. Aku meraung sejadi-jadinya. Mengais pasir-pasir.

“R-Rasi.”
Suara itu? Mengapa suara itu tak jua lenyap? Masih tak puaskah menyakitiku?
Perlahan, sepasang tangan lembut merengkuhku. Memelukku erat.
“Rasi maafkan aku. Sungguh.”
Aku mendongak dan mendapati Haikal memelukku dengan mata yang sama basahnya denganku. Apa ia menangis dan merasa sakit sepertiku?
Aku mendorong tubuh Haikal untuk menjauh dariku. Aku tak sudi disentuh olehnya lagi.
“Aku mohon Rasi. Maafkan aku,” pinta Haikal nelangsa.
Aku terisak. “Maaf? Setelah semua rasa sakit yang kamu beri ini?”
Haikal mengusap wajahnya. Ada keletihan tergurat di sana.
“Aku sangat membencimu. MEMBENCIMU!” teriakku sekeras yang kubisa. Berharap dengan begitu rasa sakit ini menguap. Tapi sekali lagi aku salah. Sakit itu tak jua melepaskanku.
Beberapa langkah di belakang Haikal, sesorang berdiri menghadapku. Ia mengangkat tangan, seolah menunjukan sesuatu padaku. Di genggamannya terdapat sebuah ponsel. Mendadak ponselku kembali berbunyi. Di layarnya muncul nomor yang selama ini menerorku.
Ternyata sang penoror itu adalah kekasih gelap Haikal sekaligus Sepupuku; Bastian.[]