LELAKIKU

Kali ini cerpen dari kamal lagi dengan judul nya LELAKIKU semoga kalian suka dengan cerpen yang satu ini ya




    Lampu kamar baru saja padam. Aku sudah menaiki ranjang, bersiap untuk melepas penat setelah seharian bekerja. Aku segera memejamkan mata. Tapi, baru beberapa menit, dalam mata terpejam sayup-sayup kudengar suara pintu kamar berderak dibuka. Aku yang terlalu penat enggan untuk membuka mata. Pasti dia, lelakiku! pikirku.

     Dalam hitungan detik, ranjang ukuran king size itu bergoyang. Lalu aku merasakan suhu tubuh yang hangat menempel di kulitku, masuk ke dalam selimutku. Selanjutnya tubuhku didekap dari belakang dan kurasakan deru napasnya memburu menggelitiki tengkukku.
    Aku mengerang kecil ketika dia menggigiti leherku.

    “Aku membangunkanmu, ya?” bisiknya dengan suara serak. Menahan nafsu.
    Aku memutar tubuhku. Dan, kini tubuh kami pun sudah berhadapan. Di dalam selimut. Menambah hangat suhu tubuh.

    Dalam mata terpejam aku mengangguk semampuku. “Kenapa?” tanyaku parau.
    Dia tak langsung menjawab. Jari-jarinya yang panjang kini menelusuri wajahku. Alis, mata, hidung, dan berakhir di bibirku. Lama, jemarinya bermain di sana. Mengusapnya dengan lembut.
    “Aku merindukanmu.”

    Saat itu mataku masih terpejam. Dan, aku mendengus geli mendengarkannya. Dia merindukanku? Sejujurnya aku senang dan tersanjung ketika dia mengatakan hal itu. Jiwaku rasanya melayang. Tapi, bagaimana mungkin dia merindukanku kalau setiap hari kami selalu bertemu? Setiap malam selama sebulan ini dia berbagi ranjang denganku?

    “Aku sungguh merindukanmu,” bisiknya seolah bisa membaca pikiranku.
    Perlahan, aku mencoba membuka mata. Pandanganku langsung bertemu dengan wajahnya. Dalam kegelapan itu aku bisa melihat siluet wajah lelakiku. Alisnya yang hitam pekat, hidungnya yang ramping, rahangnya yang tegas. Semuanya bisa kulihat dengan sempurna. Mataku kini berhenti di bibirnya yang agak tebal. Bagian wajahnya yang teramat kusukai. Bagian yang membuatku mabuk kepayang akan dirinya.

    “Aku ingin malam ini kau menjadi milikku. Dan, aku seutuhnya milikmu.” bisiknya tepat di wajahku.

    Mencium aroma napasnya kian menyulut api gairah dalam tubuhku. Gairah itu membakar jiwaku. Dia selalu pandai memancing sisi sensualku untuk menuruti maunya. Dan, malam ini pun sepertinya aku akan bertekuk lutut lagi oleh kuasanya. Bagai terhipnotis, aku mengangguk.

    Dia memangut bibirku lembut. Perlahan, mataku terpejam. Membiarkan dia mengambil alih semua kesadaranku. Dan, ciuman itu menjadi garis start pertualangan kami malam ini.

Malam kian menua. Ranjang ukuran king size itu terus bergoyang. Menjadi saksi bisu perjalanan dua insan menuju puncak nirwana.

***

    Aku sedang memainkan cangkir coffe latte-ku ketika seseorang wanita muda menghampiriku. Tania. Begitulah nama wanita itu kukenal. Wanita yang sudah menjadi sahabatku sejak di bangku SMA dulu.
    “Aku tidak mengganggu pekerjaanmu kan?” tanya Tania setelah memesan secangkir cappuccino untuknya.
    Aku tersenyum lalu menggeleng. “Hari ini aku tidak ada janji dengan pasien,” jawabku. “Ada masalah apa kau memintaku untuk bertemu di sini?”

    Tania menatapku lama lalu menarik napas. Dan, aku tahu bahwa dia sedang menyimpan masalah yang amat pelik. Pekerjaanku sebagai Psikolog memudahkanku membaca gerak-geriknya. Tarikan napasnya yang berat, matanya yang tampak lelah dan gelisah. Aku bisa membacanya dengan mudah.
    “Kau bisa menceritakanya padaku,” pintaku seraya mengenggam tangannya. Hal yang sering kulakukan ketika meminta pasienku untuk menceritakan masalahnya.

    Deting air mata jatuh mengaliri pipi mulus Tania. Dia menggigit bibirnya. Dan, matanya masih menatapku gelisah. Sekarang aku bisa melihat keraguan di sana. Mungkin dia ragu untuk menceritakan masalahnya padaku.

    “Tania,” aku memanggil namanya dengan lembut. “Aku di sini siap mendengarkan apapun masalahmu. Bukankah kau memintaku datang kemari untuk itu?” 

    “Aku … aku tidak kuat lagi,” Tania mulai bercerita. Dan, baru saja aku bersiap untuk mendengarkannya, tangis Tania pecah. Aku segera bangkit dari posisiku, memeluk Tania.
    “Kalau kau menangis seperti ini aku tidak akan bisa membantumu,” bujukku seraya mengusap punggungnya. Beruntung saat ini coffe shop ini sedang sepi. Kalau tidak, sudah pasti Tania yang sedang menangis sudah menjadi konsumsi publik.

     Dengan suara terisak Tania melanjutkan ceritanya. Rumah tangganya kini sedang diterpa badai. Suaminya jarang pulang. Alasannya, dia selalu lembur di kantor. Sudah sebulan ini Tania tidak pernah lagi di sentuh. Tak ada lagi suara lengguhan di dalam kamar. Ranjang itu tidak pernah lagi panas. Hubungan mereka kini dingin. Membekukan. Menyesakkan.

    “Intuisiku mengatakan dia telah mempunyai wanita lain,” kata Tania mengakhiri ceritanya. Tarikan napasku ikut memberat setelah mendengar cerita Tania. Dia sudah menceritakan masalahnya. Dan, kini giliranku untuk memberinya saran. Bukankah itu tujuannya memintaku untuk mendengarkan masalahnya?

    “Tania, ini memang permasalahan yang sulit. Teramat sulit. Tapi, kau tidak boleh menuduhnya berselingkuh begitu saja tanpa bukti apapun. Saranku, ajaklah dia bicara. Dari hati ke hati. Dan, tentu saja dengan kepala dingin. Coba cari penyebab masalah keluargamu ini. Setelah ditemukan, selesaikan dengan baik bersamanya. Keselamatan rumah tanggamu ada di tanganmu dan dia. Aku hanya bisa memberi saran dan mendoakan yang terbaik untuk rumah tanggamu.”

    Tania menatapku lalu menangguk pelan. Aku tersenyum. Dan, hari itu kami berpisah setelah menghabiskan minuman—yang sudah mendingin—di cangkir kami masing-masing.

***

    “Apa yang kaupikirkan?” tanya lelakiku setelah melepaskan seluruh pakaiannya dan masuk ke dalam selimutku. 

    “Tania,” bisikku dengan mata menerawang. Teringat pertemuan tadi siang. Tania yang bercerita dengan suara terisak kembali memenuhi kepalaku.
    Dia menyetuh pipiku, memintaku untuk menghadap padanya. “Sudahlah, jangan kau pikirkan,” pintanya. Kini jari-jarinya yang panjang menelusuri tulang selangkaku, bagian dari tubuhku yang paling disukainya. Katanya tulang selangkaku seksi dan membangkitkan gairah. Tentu saja aku hanya tertawa menanggapinya.

    “Tapi, Tania se—”

    Jari telunjuknya kini menyentuh bibirku. Memintaku untuk berhenti bicara. “Jangan bicarakan siapapun saat aku sedang bersamamu. Kau membuatku cemburu.” Dia tersenyum. Lalu jari telunjuknya mengusap-usap bibirku. “Kau hanya boleh menyebut namaku. Memikirkan aku. Seperti aku yang selalu menyebut dan memikirkanmu. Bukankah kita sudah berjanji seperti itu?”
    Isak tangis Tania terdepak dari pikiranku dan digantikan oleh suaranya. Suaranya yang selalu bisa menyihirku untuk tunduk padanya. Dan, akupun melakukan seperti yang dia pinta untuk tidak memikirkan orang lain lagi selain dirinya.

    Dia meraih daguku. Mendekatkankan bibirnya—yang selalu kusuka—pada bibirku. Menciumku dengan lembut. Dan, seperti malam-malam sebelumnya, ciuman itu selalu menjadi pembuka permainan kami untuk malam panjang ini.

***

    Tania datang lagi menemuiku. Kali ini dia yang datang ke kantorku, tidak memintaku bertemu di coffe shop seperti minggu lalu. Aku menerima kedatanganya setelah pasien terakhirku hari ini pulang.

    Aku belum sempat bertanya apa-apa. Tapi, Tania langsung memuntahkan semua yang ada di hatinya.

    “Aku sudah mengajaknya untuk bicara, bertanya ada masalah apa dan dia menjawab tak ada masalah apapun. Tapi, bagaimana mungkin tidak ada masalah kalau dia sekarang sering menghindariku?” Tania menarik napas, membuat jeda. “Ketika aku tanya apa yang harus kulakukan, dia menjawab ‘tak ada yang perlu kaulakukan, Tania’.”

    Tania menelangkupkan wajah, menyembunyikan air matanya dariku. Lalu Tania melanjutkan ceritanya “Aku bingung dengan sikapnya. Karena sudah tidak tahan dengan semua ini akhirnya aku memberanikan untuk bertanya apakah ada wanita lain di antara kami, tapi dia tidak menjawabnya. Dia bungkam. Dan, itu cukup bagiku untuk tahu bahwa memang ada wanita lain yang masuk di pernikahan kami. Hatiku sakit!”

    Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku tidak bisa memberi Tania saran. Satu-satunya yang kulakukan hanya bangkit dari posisiku dan memeluk tubuh Tania. Suatu tindakan yang kuharap bisa memberinya kekuatan.

    “Kenapa … kenapa dia harus bersikap seperti ini di saat aku sedang mengandung anaknya?” bisik Tania lirih. Teramat lirih. Namun, pertanyaan itu menyengatku. membuat wajahku pias.
    Aku berdehem untuk mengendalikan rasa terkejutku. “Biar aku yang berbicara padanya, Tania. Mungkin aku bisa bertanya dan membujuknya untuk bersikap seperti dulu lagi padamu.”

***

    Aku turun dari mobilku lalu melangkah cepat masuk ke dalam coffe shop langganku. Sore ini aku akan menemui suami Tania. Tadi, aku sudah meneleponnya dan meminta bertemu di sini.
    Dari jauh aku sudah melihat suami Tania. Dia masih mengenakan seragam kantoran—kemeja biru komplit dengan dasinya. Ia tersenyum saat melihat kedatanganku. Aku hanya membalas dengan senyuman kaku.

    “Tumben sekali kau mengajakku ketemuan di sini? Ada apa?” tanyanya setelah mempersilakanku duduk. Dia menatapku. Dan, aku membuang muka. Menatap meja yang sudah terisi oleh dua cangkir coffe latte. Ternyata dia sudah memesankannya untukku.
    “Ini tentang Tania. Kumohon kau mendengarkanku karena ini teramat penting.”
    Alis hitam pekatnya bertaut. “Aku tidak mau membicarakan tentang Tania.” ucapnya ketus. Bibirnya yang agak tebal memberengut.

    “Kau jangan bertingkah kekanak-kanakan!” bentakku emosi membuatnya menatapku dengan mata lebar. Mungkin dia tidak mengira aku akan membentaknya seperti itu.
    Aku menarik napas lalu membuangnya perlahan untuk menurunkan tensi emosiku. “Kau tidak bisa bersikap seperti ini terus. Itu akan melukai Tania. Kau harus kembali padanya. Meski kau tidak mencintainya, kumohon berbaikanlah dengan Tania. Karena saat ini Tania …” 

Suaraku tiba-tiba tercekat seolah ada bola berduri menyangkut di tenggorokanku. Sekali lagi aku menarik napas.  Untuk meredakan gemuruh yang sedang menyiksa hatiku.
“Saat ini Tania sedang hamil. Dia mengandung anakmu.” Akhirnya aku berhasil juga mengatakan itu pada suami Tania.  Dan, dia masih menatapku tidak percaya. Seolah aku sengaja mengarang kebohongan untuknya. Dia sudah hendak membantah, tapi aku memotong cepat.
“Aku tidak berbohong. Kau harus berbaikan dengan Tania. Kumohon berbaikanlah. Lakukan itu demi anakmu yang sedang dia kandung.”

Setelah mengucapkan itu aku bangkit lalu melangkah pergi tanpa pamit. Bahkan aku sama sekali belum menyentuh coffe latte yang sudah dia pesan. Memang sudah seharusnya aku pergi. Tugasku sudah selesai. Aku sudah memberitahukan kehamilan Tania pada suaminya dan memintanya untuk berbaikan pada Tania. Sudah cukup peranku di sini.

Dari balik kemudi aku menatap ke arah suami Tania yang masih terduduk. Ia sama sekali tidak bergerak. Dan, melihat hal itu membuat setetes air mataku jatuh. Sungguh kisah yang menyesakkan! isakku. Aku mengalihkan pandanganku dari suami Tania, menghidupkan mesin mobil, lalu memacunya melaju di padatnya jalan raya dengan airmata yang kian menderas.

***

 Seminggu sudah berlalu saat aku berbicara dengan suami Tania. Dan, seminggu sudah aku tidak mendapatkan kabar tentang masalah mereka. Tania tidak pernah datang lagi menemuiku. Apakah mereka sudah berbaikan dan semuanya kini kembali baik? Ah, sudahlah! Itu bukan urusanku lagi.
Aku baru saja sampai ke apartemen ketika ponselku berbunyi. Ternyata Tania. Baru saja aku memikirkannya, sekarang dia sudah meneleponku.

Pembicaraan itu tak lebih dari dua menit. Tania hanya mengucapkan terima kasih padaku. Kini dia sudah berbaikan dengan suaminya. Suaminya selalu pulang tepat waktu. Ranjang mereka tak lagi dingin. Rumah tangga yang sempat diterpa badai itu kembali baik seperti dulu.
Dan, aku sebagai sahabat baiknya mengatakan ikut senang mendengar kabar itu. Aku juga memintanya untuk menjaga kandungannya baik-baik. Pembicaraan itupun ditutup setelah berbasa-basi sekejap.

Aku menatap ponselku. Lama. Sebuah tanya mengusik hati dan pikiranku. Tapi, cepat-cepat aku mengusirnya.

Lampu kamar sudah padam. Sejam telah berlalu sejak aku naik ke ranjang. Tapi, mataku enggan untuk terpejam, Semingguan ini aku memang sulit untuk tertidur. Aku sering gelisah. Ini karena lelakiku. Sudah seminggu ini dia tidak pernah lagi berbagi ranjang denganku. Ah, aku merindukannya. Merindukan kecupannya. Merindukan pelukan hangatnya. Merindukan malam panjang yang kami lewati bersama.

Di saat aku semakin gelisah karena terserang rindu, ponselku tiba-tiba berdering. Sebuah SMS. Dari … dia, lelakiku.
Aku merindukanmu. Merindukan manis bibirmu. Merindukan saat-saat aku berbagi ranjang di bawah selimutmu. Apa kau juga merindukanku? 

     Air mataku jatuh tak tertahankan. Mengarus deras. Tentu saja aku merindukannya. Saking rindunya aku sudah ingin memintanya kembali ke sini. Ke kamarku. Berbagi ranjang denganku. Memelukku. Mengecupku. Tapi, itu tidak mungkin kulakukan. Karena saat ini dia harus berada di tempatnya. Bersama wanita yang sedang mengandung anaknya. Tania.[]