Gara-Gara Petasan
Kali ini ada Cerpen sedih dari sahabat kita kamal silakan di baca ya :)
“Hargai yang lagi puasa dong!”
Aku menatap sosok yang tadi menegurku. Salim. Cih, cowok itu lagi. Lama-lama aku muak juga sama cowok yang menurutku suka mencari muka. Emangnya muka satu itu aja nggak cukup baginya, ya?
Tanpa mengubris Salim aku terus menyantap roti yang sengaja kubeli di warung dekat rumah sebelum berangkat sekolah. Dari ekor mata aku bisa lihat rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal, dan wajahnya merah karena marah. Tapi aku mengambil sikap masa bodoh. Emangnya dia siapa sok mengaturku?
Oke dia emang ketua Rohis. Tapi, bukan berarti dengan jabatan itu dia bisa seenaknya mengaturku kan? Aku kan bukan anggota Rohis yang harus tunduk sama kata-katanya.
“Kalo lo mau puasa atau nggak, itu terserah. Tapi, tolong hargai kami yang berpuasa. Jangan makan seenaknya!” sentak Salim keras. Sepertinya dia sudah kehabisan kesabaran.
Aku menaikan alis. Menantangnya. “Masalah buat lo? Hak gue dong mau makan dimana. Sok cari muka banget sih lo!”
“Lo …”
“Apa?”
“Hargai yang lagi puasa!”
“Lo kudet banget, sih. Nih baca!” Aku mengeluarkan gadget lalu membuka berita yang lagi hangat dibincangkan saat ini. Lalu, kulihatkan pada Salim. Wajah cowok itu makin memerah. Sementara aku menampilkan senyum kemanangan. “Lo baca sendiri kan? Menteri agama aja bilang hormati orang yang tidak berpuasa. Jadi, lo harus hormati gue,” lanjutku.
Salim sudah hendak membalas kata-kataku, tapi ditahan oleh Fizan, salah satu teman baiknya—yang di mataku sama saja, sok alim dan suka cari muka. Cih!
“Sabar. Ntar puasa lo batal.” Fizan mencoba menenangkan Salim.
“Anak ini perlu dikasih tau. Agamanya Islam tapi kok nggak tau adab.”
“Udahlah. Lo kayaknya nggak tau dia aja. Mending kita aja yang menjauh.”
Aku yang mendengar pembicaraan mereka berdecak. “Bagus deh kalo kalian sadar. Sono pergi. Bikin napsu makan gue ilang aja!”
Salim mencoba menyerangku lagi, tapi Fizan keburu menariknya pergi. Aku tersenyum senang ketika melihat dua cecunguk sialan itu enyah juga.
“Apa liat-liat?!” sentakku ketika berpasang-pasang mata murid lain melihatku.
***
Apa sih untungnya puasa itu? Menurtku cuma merepotkan saja. Nahan lapar, nahan amarah, nahan segala hal yang mengasyikan. Huh! Lama-lama aku nggak habis pikir kenapa harus wajib berpuasa di bulan Ramadhan. Kenapa nggak kayak bulan-bulan lainnya saja. Pasti akan seru!
Seperti bulan-bulan Ramadhan sebelumnya, tahun ini pun aku masih enggan berpuasa. Maleslah. Apa enaknya sih menahan lapar dan dahaga? Belum lagi malamnya harus shalat terawih dan witir. Astaga, shalat lima waktu aja menurutku itu sudah banyak banget. Kenapa mesti ditambah lagi? Satu-satunya hal menarik di bulan Ramadahan ini menurutku cuma petasan.
Setiap malam aku selalu membeli banyak petasan. Lalu berkeliling dengan teman-teman yang asyik menurutku. Bersama kami membakar petasan lalu melemparkannya ke kerumunan orang yang hendak shalat terawih. Kami akan tertawa senang saat melihat kerumunan itu kocar-kacir karena ledakan petasan.
Tidak hanya itu kadang kami juga nekat melemparkan petasan ke perkarangan masjid ketika waktu shalat terawih. Setelah itu kami akan kabur dengan motor dan tertawa terbahak-bahak ketika petasan itu meledak dengan suara menggelegar. Aku tahu tindakan kami itu salah dan kurang ajar, tapi aku menepis hal itu. Melempari petasan ke lingkuangn masjid itu mengasyikan. Ya, terkadang hal mengayikan suka dilakukan daripada hal-hal baik.
“Kemana lagi nih?” tanya Ferdy, sohib kentalku. Dia ini patnerku terbaikku untuk melakukan hal-hal mengasyikan.
“Ke Masjid Al-Ikhwan. Di sana rame. Kan seru kalo bikin keributan,” usulku dengan senyum membayangkan betapa serunya main petasan di sana.
Tanpa buang waktu lagi, Ferdy langsung menarik gas. Motor pun melaju membawa kami menuju Masjid Al-Ikhwan.
Benar saja, di Masjid Al-Ikhwan ramai sekali. Aku segera mengambil petasan besar di saku celana, membakar sumbunya dengan kretek, lalu melemparnya di dekat pintu masjid.
“Woiiii!” Seseorang tiba-tiba berseru.
“Kabur … kabur!” perintahku seraya menepuk bahu Ferdy.
Karena kaget, Ferdy langsung menarik tali gas tanpa melihat keadaan. Motor melaju kencang. Di depan sana sebuah mobil melaju sama kencangnya. Cahaya lampu menyilaukan mata. Aku memejamkan mata saat mendengar bunyi yang memekakkan telinga. Sebelum aku sempat melihat apa yang terjadi, kepalaku mendadak pening. Lalu semua menjadi gelap.
***
Di sinilah aku sekarang berada. Di sebuah kamar beraroma obat-obatan—aroma yang kerap membuatku mual—dan dinding berwarna putih kusam. Suasana di kamar ini tidaklah menyenangkan. Mencekam. Aku selalu tidak menyukai rumah sakit.
Kecelakaan yang kualami membuatku harus terkurung di kamar rumah sakit. Ini sudah tiga hari. Rasanya sudah tiga tahun saja. Menurut dokter aku masih lama di rawat. Mengingat kakiku mengalami patah tulang ketika kecalakaan itu. Mengerikan. Tapi, ini lebih baik daripada nasib Ferdy. Sohibku itu tidak tertolong. Dia meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Pada malam keempat aku dirawat di rumah sakit, aku kedatangan tamu yang tidak di duga. Salim, Fizan dan para anggota Rohis. Orang-orang yang selama ini selalu aku benci karena sok alim, sok suci dan sok baik. Aku segera memasang muka masam. Mereka ke sini pasti ingin menertawakanku
“Kami turut berduka dengan musibah yang menimpa lo,” kata Salim mewakili yang lain. Suaranya begitu lembut dan sejuk. Bahkan ia sempat tersenyum simpati padaku. Sama sekali tidak ada senyum mengejek di sana.
“Semoga lo cepat sembuh,” lanjut Salim. Ada ketulusan yang kurasakan di suaranya.
Aku terisak pelan. “Tuhan pasti marah makanya menghukum gue seperti ini,” kataku.
Fizan mengusap bahuku. “Tidak. Tuhan tidak marah ama lo. Dia sayang lo. Dia memberikan ini untuk menegur lo agar menjadi lebih baik lagi,” katanya berusaha menenangkanku.
“Tuhan sayang lo. Buktinya Tuhan masih kasih lo kesempatan,” tambah Salim. Yang lain mengangguk menyetujui.
Benarkah Tuhan masih sayang padaku setelah hal-hal buruk yang kulakukan selama Ramadhan ini?
Sebelum pergi Salim, Fizan dan anggota Rohim berdoa bersama untuk kesembuhanku. Mereka berharap aku segera pulih agar bisa masuk sekolah saat liburan lebaran usai.
Sepeninggalan mereka aku memikirkan apa yang mereka katakan. Semuanya menari-nari di benakku. Hingga akhirnya aku sampai pada satu jawaban.
Ya, Tuhan sayang padaku. Buktinya Dia masih memberiku kesempatan untuk hidup, kesempatan untuk berbuat baik, kesempatan untuk menjadi hamba-Nya yang bertakwa.
Di luar sayup-sayup suara takbir mulai berkumandang. Suka cita menyambut hari kemenangan. Aku tersenyum merasakan kesejukan dalam hati. Rasanya aku tidak sabar menunggu Ramadhan tahun depan. Tentu saja untuk berpuasa dan menjalankan ibadah lainnya.
Gara-gara petasan aku menemukan arti kebesaran Tuhan dan Ramadhan.
***