Gadis Matahari
Kali ini ada Cerpen cinta lagi dari sahabat kita kamal dengan judul Gadis Matahari silakan di simak ya :)
Ale menyeka luka memar di wajahnya dengan air hangat. Sudah empat hari dan memar itu masih membekas meski sudah tidak selebam sebelumnya. Bibirnya meringis ketika handuk itu menyentuh memarnya. Ale menatap refleksi wajahnya sendiri di dalam cermin.
“Re, kamu tahu, mengapa aku selalu memanggilmu, Matahari?” Suatu hari tiga bulan lalu Ale membisikan kalimat itu. Rere yang sedang menatap kepergian matahari tenggelam, menatap Ale. Senyumnya terkulum.
“Karena aku memiliki rambut pirang?” sahut Rere yakin.
Ale menggeleng. Ikut tersenyum.
“Karena namaku Rere, yang menurut Bunda nama itu diambil dari dewa matahari Mesir kuno, Dewa Ra?” Rere melirik Ale sebelum kembali menatap matahari yang tinggal separuh.
Kali ini Ale tertawa. Lantas menggeleng lagi.
“Hmm … mungkin karena aku menyukai matahari dan warna orange?” pancing Rere kemudian. Masih belum menyerah.
“Bukan.” Senyum Ale makin mengembang. Wajah cantik Rere merengut ketika melihatnya.
“Lalu apa dong, Al?” Rere penasaran. Menatap Ale dengan mata almon-nya, menantikan jawaban yang akan keluar dari mulut Ale.
“Mau tau aja atau mau tau banget?” goda Ale sembari menikmati wajah cantik Rere yang diliputi rasa penasaran.
Mata Rere melotot seraya mencubit lengan Ale. Cowok itu makin terpingkal melihat reaksi Rere.
“Karena kamu memiliki senyum yang sehangat matahari,” jawab Ale kemudian sembari menikmati senyum yang tiba-tiba terulas di bibir merah Rere. Ada rona merah yang ikut terbit di kulit pipi gadis itu. Hati Ale menghangat menyaksikannya.
“Jujur, Re, aku menyukai senyumanmu itu. Hangat. Menenangkan bak obat bius. Terkadang aku sering mencari kedamaian dengan melihat senyummu.” Rere semakin tersipu malu mendengar pujian Ale.
Berambut pirang, tubuh mungil, kulit putih cerah, wajah nan cantik, membuat Rere seperti putri di negeri dongeng. Sifatnya yang ramah dan supel, membuat orang lain merasa nyaman dan ingin berteman dengannya. Tak heran jika, Rere menjadi primadona di sekolah. Target cinta para cowok-cowok. Dan, Ale tahu semua itu.
Keakraban Ale dengan Rere sudah terjalin sejak mereka resmi bertetangga sepuluh tahun silam. Saat itu Ale masih duduk di bangku SD, dan Ale baru pindah ke kompleks perumahan Rere. Ale yang hanya memiliki Bunda, dan harus bekerja pula, terpaksa dititipkan di rumah Rere setiap siang hari sepulang sekolah. Semula Ale tidak suka terhadap Rere yang selalu mengajaknya bermain boneka. Namun, lambat laun, Ale menemukan sesuatu yang menarik pada gadis kecil, Rere. Senyum Rere membuatnya tersihir. Dan, sejak itu pula persahabatan mereka terjalin. Mereka menjadi seperti sepasang sepatu. Selalu bersama dan saling melengkapi.
Hingga mereka mulai menginjak bangku SMA, Ale mulai merasakan rasa yang berbeda terhadap Rere. Rasa itu bukan lagi sayang terhadap sahabat. Itu rasa yang selalu dimiliki seorang lelaki remaja terhadap gadis spesial di hati. Cinta. Ale jatuh cinta pada Rere. Namun, Ale tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Ale takut perasaannya tak berbalas. Dan, kenyataan akan ditolak membuatnya semakin membungkam perasaannya. Kini Ale harus puas pada posisinya sebagai sahabat Rere. Sahabat terbaik.
Sampai suatu saat Rere mengatakan pada Ale kalau Jhosep, cowok tajir dan berwajah tampan, yang sejak lama mengejar cinta Rere, telah resmi menjadi bagiannya. Ale tersenyum kecut. Tiba-tiba perasaan kehilangan menguasainya.
Sejak itu, semuanya pun berubah. Tidak lagi sama.
***
Sejak menyandang status sebagai kekasih Jhosep, Rere tidak pernah lagi ada waktu untuk Ale. Hari-harinya habis untuk dilewati bersama Jhosep. Ale pun begitu, lebih banyak berdiam diri dan berusaha menjauhkan diri dari Rere. Tidak ada lagi tegur sapa di antara mereka. Hanya sesekali mereka terpaksa saling melirik jika kebetulan berpapasan di sekolah atau di rumah. Rere yang sadar kalau Ale menghindarinya, juga melakukan hal yang sama. Hampir tiga bulan hal itu terjadi. Persahabatan Ale dengan Rere semakin merenggang.
Sampai suatu saat Ale menyaksikan Rere menangis dengan tubuh bergetar di taman sekolah saat pulang sekolah. Siang itu taman sekolah sepi, karena jam sekolah telah usai sejak sejam lalu. Ale yang siang itu pulang terlambat karena harus mengikuti rapat OSIS harus menyaksikan semuanya.
Hati Ale merasa tersayat. Ingin rasanya Ale berlari menuju Rere, merekuh tubuh gadis itu dan menenggelamkannya dalam pelukan. Namun, hal itu tidak pernah dilakukannya. Are hanya menyaksikan bagaimana Rere menangis dalam diam dari jarak jauh. Hingga akhirnya Rere beranjak pergi dengan pipi yang basah oleh sisa air mata, barulah Ale tersadar dan ikut bergerak.
Sejak mendapati Rere menangis di taman sekolah, Ale tidak lagi melihat Rere yang dulu. Rere yang ceria, ramah, dan supel kini bertransformasi menjadi Rere yang pendiam, dingin, dan suka menyendiri. Mata almon-nya pun ikut berubah menjadi kelabu. Tidak ada lagi binar kecerian yang terpancar di sana. Ale yang menyaksikan perubahan pada Rere merasakan sesuatu yang menyelinap di sudut hatinya.. Kerinduan terhadap sosok Rere yang dulu. Rere yang baginya seumpama matahari, hangat dan menenangkan.
Perubahan sikap Rere menjadi buah bibir seantaro sekolah. Banyak desas-desus yang tersiar mengenai penyebabnya. Salah satunya bahwa Rere telah dicampakkan Jhosep. Cowok itu memutuskan Rere dengan alasan sudah bosan. Padahal siapa pun tahu bahwa Jhosep memutuskan Rere karena kepincut gadis lain yang lebih cantik daripada Rere. Dasar cowok brengsek! Ale yang mendengar berita itu menjadi geram. Tangannya terkepal menahan amarah. Hatinya sakit. Ale tidak terima gadis yang dicintainya dicampakkan dan disakiti.
Sepulang sekolah Ale sengaja meninggalkan kelas lebih dulu. Dengan langkah tergesa, Ale menuju kelas Jhosep. Ale telah bertekad untuk memberi pelajaran playboy brengsek itu.
Saat melihat target yang dicarinya, Ale berlari dang menghadang langkah Jhosep. Tanpa aba-aba diterjangnya cowok berbadan atletis itu. Jhosep terhuyung saat menerima bogem mentah di wajahnya.
“Brengsek!” umpat Jhosep seraya mengusap darah di bibirnya. Jhosep bangkit, lalu balas menerjang Ale. Perkelahian pun tidak terhindarkan lagi. Murid-murid yang melihat kejadian itu segera mengerubungi. Tidak ada yang berniat untuk memisahkan.
Bibir Ale berdarah terkena tinju Jhosep. Sementara Jhosep terkapar seraya mengerang kesakitan di perutnya akibat tendangan Ale. Perkelahian usai setelah dua orang guru datang dan menggiring mereka ke ruang BP.
Akhirnya Ale dan Jhosep di-skors seminggu. Bagi Ale yang meski pertama kali di-skors, hukuman itu tidak ada artinya. Yang penting, hatinya puas telah membuat playboy brengsek itu babak belur.
Lamunan Ale terhenti ketika jam di ruang tengah berdentang dua kali. Pukul dua dini hari. Ale membuka laci meja belajarnya, meraih pigura yang sejak tiga bulan lalu disimpannya. Foto Rere bersamanya. Berangkulan dengan senyum bahagia.
Ale menatap pigura itu dengan hati berbisik: Re, aku mencintaimu. Teramat mencintaimu.
***
Ale menggeliat ketika tubuhnya diguncang. Samar-samar Ale mendengar suara Bunda yang membangunkannya. Ale bangkit dari ranjangnya dengan nyawa belum sepenuhnya terkumpul.
“Ada apa, Bunda?”
“Kamu nggak ke rumah Rere untuk mengucapkan salam perpisahan?” tanya Bunda seraya menyibak gorden lalu membuka jendela. Cahaya dan udara pagi yang sejuk masuk ke dalam kamar.
“Maksud Bunda apa?”
“Hari ini keluarga Rere akan pindah. Kemarin saat kamu keluar sore, mereka pamit sama Bunda.”
Ale lansung bangkit dari ranjangnya. Tanpa peduli dengan wajahnya yang belum dibasuh dan penampilannya yang berantakkan, Ale lansung berlarian ke rumah Rere. Di halaman rumah Rere, Ale melihat mobil pemindah barang disesaki berbagai perabotan.
Saat dilihatnya Rere keluar dengan wajah murung, dihampirinya gadis itu.
“Kenapa kamu nggak bilang akan pindah?” tanya Ale.
Rere tersenyum tipis. Tidak menjawab.
Ale mulai mengumpulkan keberanian. Merasa harus melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukannya sejak dulu. Mengungkapkan perasaannya. Waktunya sudah tidak banyak.
Diraihnya jemari Rere. “Re, mungkin kamu akan menganggap ini gila. Tapi, inilah kenyataan yang harus kamu ketahui. Aku mencintaimu, Re. Aku nggak ingin kamu pergi.”
“Bodoh!”
“Yah, aku memang bodoh,” aku Ale.
“Mengapa baru katakan sekarang?”
“Aku takut melukaimu. Untuk itu aku selalu menyimpan perasaan itu. Aku tidak ingin merusak persahabatan kita.”
“Tapi, persahabatan kita sudah rusak, Al.” Rere berucap pelan.
“Maaf.”
Rere tak beraksi. Sesaat kemudian dia maju selangkah, menjatuhkan diri di pelukan Ale. Jantung Ale berdegup kencang saat merasakan kepala Rere bersandar di dadanya.
“Aku juga mencintaimu, Re. Aku akan selalu bersamamu.”
“Jadi, kepindahan kamu?” Ada hangat yang memenuhi hati Ale.
Rere menggeleng. “Hanya ayah dan bunda.” Bibir Rere tersenyum. Senyum yang dirindukan Ale. Senyum sehangat matahari.
Untuk beberapa saat, mereka saling berpandangan. Lama sekali. Hingga akhirnya Ale merengkuh tubuh mungil gadisnya, dan menenggelamkannya di dalam dada. Hatinya terasa genap dan penuh saat menyadari gadis itu sudah menjadi miliknya.
“Kamu belum mandi yah?” sungut Rere seraya mencoba melepaskan diri dari pelukan Ale.
Ale tergelak. Semakin erat memeluk gadis mataharinya. Dan, senandung lagu cinta mengalun di hati. Hangat.
Biodata Penulis
Kamal Agusta, lahir dan besar di kota Pekanbaru, sembilan belas tahun silam. Bercita-cita memiliki buku yang bermanfaat bagi masyarakat. Saat ini penulis bertempat tinggal di jalan Hang Tuah Ujung RT 01 RW 09 Kelurahan Sail Kecamatan Tenayan raya Pakanbaru-Riau. 28285. Kamal dapat dihubungi melalui aku FB: Kamal Agusta, Email: kamalpenulis@gmail.com dan Hp. 083186972428.
Ale menyeka luka memar di wajahnya dengan air hangat. Sudah empat hari dan memar itu masih membekas meski sudah tidak selebam sebelumnya. Bibirnya meringis ketika handuk itu menyentuh memarnya. Ale menatap refleksi wajahnya sendiri di dalam cermin.
“Re, kamu tahu, mengapa aku selalu memanggilmu, Matahari?” Suatu hari tiga bulan lalu Ale membisikan kalimat itu. Rere yang sedang menatap kepergian matahari tenggelam, menatap Ale. Senyumnya terkulum.
“Karena aku memiliki rambut pirang?” sahut Rere yakin.
Ale menggeleng. Ikut tersenyum.
“Karena namaku Rere, yang menurut Bunda nama itu diambil dari dewa matahari Mesir kuno, Dewa Ra?” Rere melirik Ale sebelum kembali menatap matahari yang tinggal separuh.
Kali ini Ale tertawa. Lantas menggeleng lagi.
“Hmm … mungkin karena aku menyukai matahari dan warna orange?” pancing Rere kemudian. Masih belum menyerah.
“Bukan.” Senyum Ale makin mengembang. Wajah cantik Rere merengut ketika melihatnya.
“Lalu apa dong, Al?” Rere penasaran. Menatap Ale dengan mata almon-nya, menantikan jawaban yang akan keluar dari mulut Ale.
“Mau tau aja atau mau tau banget?” goda Ale sembari menikmati wajah cantik Rere yang diliputi rasa penasaran.
Mata Rere melotot seraya mencubit lengan Ale. Cowok itu makin terpingkal melihat reaksi Rere.
“Karena kamu memiliki senyum yang sehangat matahari,” jawab Ale kemudian sembari menikmati senyum yang tiba-tiba terulas di bibir merah Rere. Ada rona merah yang ikut terbit di kulit pipi gadis itu. Hati Ale menghangat menyaksikannya.
“Jujur, Re, aku menyukai senyumanmu itu. Hangat. Menenangkan bak obat bius. Terkadang aku sering mencari kedamaian dengan melihat senyummu.” Rere semakin tersipu malu mendengar pujian Ale.
Berambut pirang, tubuh mungil, kulit putih cerah, wajah nan cantik, membuat Rere seperti putri di negeri dongeng. Sifatnya yang ramah dan supel, membuat orang lain merasa nyaman dan ingin berteman dengannya. Tak heran jika, Rere menjadi primadona di sekolah. Target cinta para cowok-cowok. Dan, Ale tahu semua itu.
Keakraban Ale dengan Rere sudah terjalin sejak mereka resmi bertetangga sepuluh tahun silam. Saat itu Ale masih duduk di bangku SD, dan Ale baru pindah ke kompleks perumahan Rere. Ale yang hanya memiliki Bunda, dan harus bekerja pula, terpaksa dititipkan di rumah Rere setiap siang hari sepulang sekolah. Semula Ale tidak suka terhadap Rere yang selalu mengajaknya bermain boneka. Namun, lambat laun, Ale menemukan sesuatu yang menarik pada gadis kecil, Rere. Senyum Rere membuatnya tersihir. Dan, sejak itu pula persahabatan mereka terjalin. Mereka menjadi seperti sepasang sepatu. Selalu bersama dan saling melengkapi.
Hingga mereka mulai menginjak bangku SMA, Ale mulai merasakan rasa yang berbeda terhadap Rere. Rasa itu bukan lagi sayang terhadap sahabat. Itu rasa yang selalu dimiliki seorang lelaki remaja terhadap gadis spesial di hati. Cinta. Ale jatuh cinta pada Rere. Namun, Ale tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Ale takut perasaannya tak berbalas. Dan, kenyataan akan ditolak membuatnya semakin membungkam perasaannya. Kini Ale harus puas pada posisinya sebagai sahabat Rere. Sahabat terbaik.
Sampai suatu saat Rere mengatakan pada Ale kalau Jhosep, cowok tajir dan berwajah tampan, yang sejak lama mengejar cinta Rere, telah resmi menjadi bagiannya. Ale tersenyum kecut. Tiba-tiba perasaan kehilangan menguasainya.
Sejak itu, semuanya pun berubah. Tidak lagi sama.
***
Sejak menyandang status sebagai kekasih Jhosep, Rere tidak pernah lagi ada waktu untuk Ale. Hari-harinya habis untuk dilewati bersama Jhosep. Ale pun begitu, lebih banyak berdiam diri dan berusaha menjauhkan diri dari Rere. Tidak ada lagi tegur sapa di antara mereka. Hanya sesekali mereka terpaksa saling melirik jika kebetulan berpapasan di sekolah atau di rumah. Rere yang sadar kalau Ale menghindarinya, juga melakukan hal yang sama. Hampir tiga bulan hal itu terjadi. Persahabatan Ale dengan Rere semakin merenggang.
Sampai suatu saat Ale menyaksikan Rere menangis dengan tubuh bergetar di taman sekolah saat pulang sekolah. Siang itu taman sekolah sepi, karena jam sekolah telah usai sejak sejam lalu. Ale yang siang itu pulang terlambat karena harus mengikuti rapat OSIS harus menyaksikan semuanya.
Hati Ale merasa tersayat. Ingin rasanya Ale berlari menuju Rere, merekuh tubuh gadis itu dan menenggelamkannya dalam pelukan. Namun, hal itu tidak pernah dilakukannya. Are hanya menyaksikan bagaimana Rere menangis dalam diam dari jarak jauh. Hingga akhirnya Rere beranjak pergi dengan pipi yang basah oleh sisa air mata, barulah Ale tersadar dan ikut bergerak.
Sejak mendapati Rere menangis di taman sekolah, Ale tidak lagi melihat Rere yang dulu. Rere yang ceria, ramah, dan supel kini bertransformasi menjadi Rere yang pendiam, dingin, dan suka menyendiri. Mata almon-nya pun ikut berubah menjadi kelabu. Tidak ada lagi binar kecerian yang terpancar di sana. Ale yang menyaksikan perubahan pada Rere merasakan sesuatu yang menyelinap di sudut hatinya.. Kerinduan terhadap sosok Rere yang dulu. Rere yang baginya seumpama matahari, hangat dan menenangkan.
Perubahan sikap Rere menjadi buah bibir seantaro sekolah. Banyak desas-desus yang tersiar mengenai penyebabnya. Salah satunya bahwa Rere telah dicampakkan Jhosep. Cowok itu memutuskan Rere dengan alasan sudah bosan. Padahal siapa pun tahu bahwa Jhosep memutuskan Rere karena kepincut gadis lain yang lebih cantik daripada Rere. Dasar cowok brengsek! Ale yang mendengar berita itu menjadi geram. Tangannya terkepal menahan amarah. Hatinya sakit. Ale tidak terima gadis yang dicintainya dicampakkan dan disakiti.
Sepulang sekolah Ale sengaja meninggalkan kelas lebih dulu. Dengan langkah tergesa, Ale menuju kelas Jhosep. Ale telah bertekad untuk memberi pelajaran playboy brengsek itu.
Saat melihat target yang dicarinya, Ale berlari dang menghadang langkah Jhosep. Tanpa aba-aba diterjangnya cowok berbadan atletis itu. Jhosep terhuyung saat menerima bogem mentah di wajahnya.
“Brengsek!” umpat Jhosep seraya mengusap darah di bibirnya. Jhosep bangkit, lalu balas menerjang Ale. Perkelahian pun tidak terhindarkan lagi. Murid-murid yang melihat kejadian itu segera mengerubungi. Tidak ada yang berniat untuk memisahkan.
Bibir Ale berdarah terkena tinju Jhosep. Sementara Jhosep terkapar seraya mengerang kesakitan di perutnya akibat tendangan Ale. Perkelahian usai setelah dua orang guru datang dan menggiring mereka ke ruang BP.
Akhirnya Ale dan Jhosep di-skors seminggu. Bagi Ale yang meski pertama kali di-skors, hukuman itu tidak ada artinya. Yang penting, hatinya puas telah membuat playboy brengsek itu babak belur.
Lamunan Ale terhenti ketika jam di ruang tengah berdentang dua kali. Pukul dua dini hari. Ale membuka laci meja belajarnya, meraih pigura yang sejak tiga bulan lalu disimpannya. Foto Rere bersamanya. Berangkulan dengan senyum bahagia.
Ale menatap pigura itu dengan hati berbisik: Re, aku mencintaimu. Teramat mencintaimu.
***
Ale menggeliat ketika tubuhnya diguncang. Samar-samar Ale mendengar suara Bunda yang membangunkannya. Ale bangkit dari ranjangnya dengan nyawa belum sepenuhnya terkumpul.
“Ada apa, Bunda?”
“Kamu nggak ke rumah Rere untuk mengucapkan salam perpisahan?” tanya Bunda seraya menyibak gorden lalu membuka jendela. Cahaya dan udara pagi yang sejuk masuk ke dalam kamar.
“Maksud Bunda apa?”
“Hari ini keluarga Rere akan pindah. Kemarin saat kamu keluar sore, mereka pamit sama Bunda.”
Ale lansung bangkit dari ranjangnya. Tanpa peduli dengan wajahnya yang belum dibasuh dan penampilannya yang berantakkan, Ale lansung berlarian ke rumah Rere. Di halaman rumah Rere, Ale melihat mobil pemindah barang disesaki berbagai perabotan.
Saat dilihatnya Rere keluar dengan wajah murung, dihampirinya gadis itu.
“Kenapa kamu nggak bilang akan pindah?” tanya Ale.
Rere tersenyum tipis. Tidak menjawab.
Ale mulai mengumpulkan keberanian. Merasa harus melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukannya sejak dulu. Mengungkapkan perasaannya. Waktunya sudah tidak banyak.
Diraihnya jemari Rere. “Re, mungkin kamu akan menganggap ini gila. Tapi, inilah kenyataan yang harus kamu ketahui. Aku mencintaimu, Re. Aku nggak ingin kamu pergi.”
“Bodoh!”
“Yah, aku memang bodoh,” aku Ale.
“Mengapa baru katakan sekarang?”
“Aku takut melukaimu. Untuk itu aku selalu menyimpan perasaan itu. Aku tidak ingin merusak persahabatan kita.”
“Tapi, persahabatan kita sudah rusak, Al.” Rere berucap pelan.
“Maaf.”
Rere tak beraksi. Sesaat kemudian dia maju selangkah, menjatuhkan diri di pelukan Ale. Jantung Ale berdegup kencang saat merasakan kepala Rere bersandar di dadanya.
“Aku juga mencintaimu, Re. Aku akan selalu bersamamu.”
“Jadi, kepindahan kamu?” Ada hangat yang memenuhi hati Ale.
Rere menggeleng. “Hanya ayah dan bunda.” Bibir Rere tersenyum. Senyum yang dirindukan Ale. Senyum sehangat matahari.
Untuk beberapa saat, mereka saling berpandangan. Lama sekali. Hingga akhirnya Ale merengkuh tubuh mungil gadisnya, dan menenggelamkannya di dalam dada. Hatinya terasa genap dan penuh saat menyadari gadis itu sudah menjadi miliknya.
“Kamu belum mandi yah?” sungut Rere seraya mencoba melepaskan diri dari pelukan Ale.
Ale tergelak. Semakin erat memeluk gadis mataharinya. Dan, senandung lagu cinta mengalun di hati. Hangat.
Biodata Penulis
Kamal Agusta, lahir dan besar di kota Pekanbaru, sembilan belas tahun silam. Bercita-cita memiliki buku yang bermanfaat bagi masyarakat. Saat ini penulis bertempat tinggal di jalan Hang Tuah Ujung RT 01 RW 09 Kelurahan Sail Kecamatan Tenayan raya Pakanbaru-Riau. 28285. Kamal dapat dihubungi melalui aku FB: Kamal Agusta, Email: kamalpenulis@gmail.com dan Hp. 083186972428.