Being A Populer
Being A Populer
Oleh Kamal Agusta
Rasya Septian. Wajahnya tampan ala coverboy serta ditopang badan tegap atletis. Suka tersenyum ramah pada siapa saja. Bila berpapasan, tidak pernah ragu untuk menyapa duluan. Anak emas para guru. Namun, semuanya hanyalah masa lalu.
Seperti ulat, Rasya pun mengalami metamorphosis. Hanya wajah tampan dan tubuh tegap atletisnya yang bertahan. Perangainya berjungkir balik. Tidak ada lagi Rasya yang suka tersenyum, gemar menyapa, dan anak emas para guru. Kini yang ada hanya Rasya sang superstar!
Materi duniawi dan popularitas telah mengubah Rasya seutuhnya. Mata hatinya seolah tertutup oleh gemerlap dunia.
Khrisna menatap Rasya, sahabatnya. Di sudut hati Khrisna tersembul kerinduan akan sosok sahabatnya dulu.
“Model?” Suatu hari enam bulan lalu Khrisna kaget dengan apa yang diberitahukan Rasya.
“Gue harus terima tawaran itu, Khris. Keluarga gue lagi butuh dana besar,” ucap Rasya antusias.
“Tapi ….”
“Ini kesempatan gue, Khris, gue nggak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini!” Khrisna diam. Ada resah yang mengelayuti hatinya.
Khrisna tahu keluarga Rasya membutuhkan uang untuk tetap bertahan. Sejak toko yang dikelola ayah Rasya hangus terbakar, keluarga itu tidak lagi memiliki sumber pemasukkan. Kemarin saja Rasya harus dipanggil pihak komite karena menunggak bayar SPP. Khrisna ingin membantu, tetapi keluarganya juga lagi dalam masa sulit. Duit bulanan yang dikirim Bapak dari kampung datang telat selalu.
Dan, saat Rasya memberitahu tentang pekerjaan yang didapatkannya, Khrisna sempat senang. Akhrinya Rasya punya penghasilan yang dapat meringankan beban keluarganya. Namun, saat Khrisna tahu pekerjaan Rasya sebagai model, Khrisna seketika tertegun. Pikiran negatif memenuhi benaknya.
Modelling, profesi yang kerap dekat dengan dunia malam dan pergaulan bebas. Tidak ada lagi batasan-batasan. Khrisna takut Rasya terjerumus ke gemerlap dunia selebritis yang identik dengan dunia hitam. Khrisna tidak ingin itu terjadi. Namun, saat melihat betapa semangatnya Rasya, Khrisna jadi tidak tega menghancurkan kesempatan sahabatnya itu.
Dan, apa yang ditakutkannya menjadi kenyataan.
“Gue rindu dengan lo dulu, Ras,” bisik Khrisna lirih. Diselimutinya tubuh Rasya yang sudah tergeletak tak sadarkan diri akibat pengaruh minuman keras.
Khrisna bangkit, lalu keluar dari kamar. Membawa sesak di hatinya.
***
Rasya keluar dari kamar saat Khrisna sedang sarapan. Setangkup roti berselai kacang dan segelas susu. Khrisna memperhatikan Rasya dari sudut matanya. Rasya tampak pucat.
“Bagaimana keadaan lo?”
Rasya ikut duduk di sebelah Khrisna. Di sinya gelas kosong dengan air putih, lalu diminumnya. “Masih pusing.”
Helaan napas panjang dan berat Khrisna membuat Rasya menoleh dengan kening berkerut.
“Ada apa?”
“Lo minum berapa banyak lagi semalam?”
“Dua,” jawab Rasya santai.
“Dua gelas apa dua botol?” tanya Khrisna sedikit gusar.
“Botollah,” Rasya cengengesan tanpa perasaan bersalah.
Khrisna mendengus. Tidak mengerti dengan apa yang ada dipikiran Rasya. Padahal tidak sedikit pun dari ucapannya yang tadi bernada bercanda, eh tuh anak malah cengengesan!
Ini semua tidak wajar lagi. Rasya sudah melangkah terlalu jauh. Dan, sebagai sahabat, Khrisna wajib memperingatkan Rasya.
“Ras, lo berhenti aja dari kerjaan lo sekarang?” pinta Khrisna pelan namun terselip nada tegas.
“Kenapa? Kerjaan gue kan asyik, Khris. Hanya bergaya di depan kamera, langsung dapat duit, terus terkenal lagi. Rugi kalo gue tinggalin!” tolak Rasya.
“Dunia kerja yang lo jalani membuat lo rusak. Pergi baik-baik aja, tapi pulang-pulang lo mabuk. Terus sekolah lo juga berantakan. Kerjaan itu membuat lo berubah, Ras. Gue jadi nggak kenal Rasya sahabat gue lagi.”
Rasya bangkit dari duduknya. Mukanya merah padam. Matanya menatap tajam pada Khrisna. “Bilang aja lo iri dengan kesuksesan gue. Gue nggak nyangka, Khris, ternyata sahabat gue sendiri berpikiran picik!” hardik Rasya.
“Bukan itu maksud gue,” bela Khrisna, “gue hanya nggak ingin lo bertindak di luar batas. Minuman keras itu ngerusak tubuh lo, Ras. Hidup itu hanya sekali dan sebentar, jadi jangan pernah disia-siakan.”
“Ini hidup gue. Gue tau pilihan yang terbaik untuk hidup gue. Dan, lo …,” Rasya menunjuk Khrisna tepat di hidungnya, “Nggak punya hak untuk ngatur hidup gue, meski lo itu sahabat dan kita tinggal serumah!”
Khrisna siap untuk melakukan pembelaan. Namun, Rasya terlebih dahulu beranjak dan masuk ke dalam kamar. Terdengar bunyi pintu di banting. Khrisna menutup wajahnya dengan telapak tangan.
“Gue hanya ingin lo kembali, Ras” desis Khrisna lirih.
Beberapa saat kemudian, Rasya keluar lagi dari kamar. Badan tegap atletisnya yang tadi dibalut kaos longgar dan celana pendek selutut telah berganti kemeja flannel lengan panjang dan jeans belel. Rambut ikalnya yang mulai agak panjang pun sudah disisir rapi.
“Lo nggak sekolah?” Khrisna memberanikan diri untuk bertanya.
Rasya menoleh. Ada api amarah yang menyala di binar matanya. Khrisna tertegun. Tanpa menjawab pertanyaan Khrisna, Rasya pergi begitu saja. Khrisna hanya mampu menatap punggung Rasya yang semakin menjauh.
Raungan fortuner milik Rasya yang memecah keheningan pagi menyadarkan Khrisna bahwa Rasya benar-benar marah terhadapnya.
***
Sudah seminggu Rasya tidak pernah pulang ke kontrakan. Khrisna mulai merasa bersalah karena pertengkaran yang menyebabkan Rasya marah dan pergi. Berkali-kali Khrisna mencoba menelepon ke ponsel Rasya, tidak pernah diangkat. Dicobanya untuk mengirim sms sekedar menanyakan kabar sekaligus meminta maaf. Namun, hasilnya tetap sama. Nihil! Rasya seolah raib entah kemana.
“Lo dimana, Ras?” Khrisna semakin khawatir.
Seminggu bertanya-tanya tentang keberadaan Rasya, akhirnya Khrisna mendapatkan jawaban. Pagi itu saat Khrisna baru masuk ke dalam kelas, langkahnya dihadang oleh beberapa teman sekelasnya. Debi, Rudi, dan Syarif.
“Ada apa?” tanya Khrisna bingung.
Debi, Rudi, dan Syarif saling berpandangan dan saling dorong.
“Lo aja, Deb,” Syarif mendorong tubuh Debi. Debi malah mendorong.
“Lo kan badannya yang paling bongsor, Rif!” Rudi mendorong Syarif balik. Khrisna yang memperhatikan keanehan teman-temannya jadi jengkel.
“Ada apa, ha?”
“Anu …, Rasya selama ini beneran ada affair dengan pimpinan agency-nya ya, Khris?” tanya Syarif.
Pertanyaan itu seperti petir di siang bolong. Mengejutkan Khrisna. Mana mungkin Rasya ada main gila dengan, Tante Ria, wanita yang lebih pantas dianggapnya sebagai ibu itu?
“Kalian jangan bikin gosip murahan!” bentak Khrisna ketus.
“Anak satu sekolahan juga tahu kok, Khris. Ini bukan gosip. Beritanya tersiar di TV,” sahut Rudi.
“Rhea anak XI IPS 3 yang model satu agency dengan Rasya juga bilang kalo berita itu benar. Gila! Rasya, masa mau aja jadi simpanan tante-tante,” Debi ikut menimpali.
Dada Khrisna sesak menerima kenyataan tentang Rasya.
Ternyata apa yang dikatakan Debi, Rudi, dan Syarif benar. Seharian itu, Khrisna selalu mendengar anak-anak menceritakan tentang Rasya. Semua mulai heboh mengait-ngaitkan tentang kesuksesan yang diraih Rasya selama ini dengan hubungan khusus Rasya sama pemilik agency itu.
“Rasya benar-benar telah berubah. Lupa daratan,” komentar Nurul.
“Padahal gue nge-fans banget loh sama dia,” sahut Awlya.
“Gue malah jatuh cinta sama dia. Tapi, saat tau kalo dia doyan tante-tante, gue mendadak ilfil,” Wina ikut menimpali. Nurul dan Awlya mengangguk setuju.
Andai saja waktu dulu gue melarang Rasya menerima tawaran jadi model, pasti semua ini tidak akan terjadi. Rasya tidak akan berubah! sesal Khrisna.
***
Pukul satu dini hari, Khrisna terbangun dari tidurnya. Terdengar bunyi pintu yang diketok kasar. Khrisna bertanya-tanya siapakah yang datang bertamu dini hari seperti ini. Saat ditemuinya Rasya dengan wajah penuh memar, Khrisna segera membopong Rasya masuk.
“Lo kenapa sampai remuk begini?” tanya Khrisna cemas. Segera dijerangnya air untuk membersihkan luka di wajah Rasya.
Rasya meringis seraya melap darah di sudut bibirnya yang sudah mengental. “Bangsat tuh orang, beraninya main keroyok!” umpat Rasya.
“Siapa yang gebukin lo seperti ini?”
“Suami Tante Ria yang tua bangka itu dan anak buahnya.”
“Jadi, lo beneran ada affair dengan Tante Ria?” tanya Khrisna pelan, takut menyinggung Rasya seperti kali terakhir mereka ngobrol.
Rasya menunduk. Air mata jatuh dari sudut matanya. Terdengar bunyi air mendidih. Khrisna berlari ke dapur. Satu menit kemudian Khrisna kembali dengan baskom berisi air dan handuk kecil.
Disuruhnya Rasya tiduran dan Khrisna membersihkan luka di wajah Rasya. Rasya mengaduh saat Khrisna mengompres memarnya.
“Kenapa bisa sejauh itu lo bertindak, Ras?” Khrisna menumpahkan kekecewaannya.
“Gue terpaksa, Khris. Mulanya Tante Ria memaksa dan mengiming-imingin gue dengan job besar. Gue yang lagi butuh duit untuk modal toko Ayah, tergoda dengan tawaran itu. Malam pertama gue kerja, gue nemenin Tante Ria tidur di hotel,” cerita Rasya dengan mata menerawang. Seolah menyibak awan-awan hitam dibenaknya.
“Jadi lo udah mak—“
“Sering. Dan, gue ketagihan.” potong Rasya.
“Ini yang gue takutin sejak awal, ras. Sekarang mending lo berhenti aja. Gue nggak ingin lo dapat masalah lagi.”
Tubuh Rasya menegang. Ditepisnya tangan Khrisna yang mengompres memar di wajahnya.
“Gue nggak mau berhenti. Sampai kapan pun. Gue butuh Tante Ria untuk kepopuleran, memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani gue. Kalo gue berhenti gue nggak akan dapat apa-apa lagi. Dan, gue nggak mau kehilangan semua yang sudah gue miliki!”
Rasya bangkit dari posisinya lalu masuk ke dalam kamar. Khrisna nanar menatap pintu kamar Rasya yang telah tertutup. Detik itu juga Khrisna sadar kalo dia telah kehilangan sahabatnya untuk selamanya.
Lo udah terlalu jauh melangkah, Ras, dan gue nggak tahu lagi cara untuk meghentikan langkah lo.
Kenikmatan, kesenangan, dan kejayaan sesungguhnya ilusi dunia. Cinta, harta, tahta, dan nyawa sekali pun hanyalah zat yang pada suatu saat akan habis masa berlakunya. Tidak ada yang abadi.
Dan, sayangnya banyak dari manusia yang melupakan itu. Termasuk Rasya!
***
Biodata Penulis
Kamal Agusta, lahir dan besar di kota Pekanbaru, sembilan belas tahun silam. Bercita-cita memiliki buku yang bermanfaat bagi masyarakat. Saat ini penulis bertempat tinggal di jalan Hang Tuah Ujung RT 01 RW 09 Kelurahan Sail Kecamatan Tenayan raya Pakanbaru-Riau. 28285. Kamal dapat dihubungi melalui aku FB: Kamal Agusta, Email: kamalpenulis@gmail.com dan Hp. 083186972428.