AKU, HUJAN, DAN GADIS MISTERIUS
Kali ini ada cerpen cinta dari sahabat kita yaitu kamal dengan judul yang mainstream dan antri greget yaitu AKU, HUJAN, DAN GADIS MISTERIUS - Kamal Agusta penasaran dengan Cerpen Romantis ini silakan di baca jangan lupa share :)
“Yaaahhh ….”
Aku mendesah panjang seraya menatap ke atas. Langit terlihat mengerikan dengan awan-awan hitam pekat. Sesekali terlihat percikan cahaya disusul suara guntur menggelegar. Titik-titik hujan semakin deras berjatuhan membasahi bumi.
Aku semakin merapatkan tubuh ke dinding ruko tempatku berteduh. Angin bertiup kencang, membuat air hujan sedikit mengenaiku. Sekali lagi aku mendesah, merutuki hujan yang turun di saat yang tidak tepat—di saat aku ingin cepat pulang ke rumah. Apalagi hujan masih lama akan berhenti.
“Sepertinya masih lama.”
Suara itu membuat kepalaku menoleh cepat. Keningku mengerut saat melihat seorang gadis berseragam sama denganku, berdiri beberapa langkah dariku. Tatapan gadis itu terarah ke depan, lalu menoleh padaku. Sebaris senyum hinggap di bibirnya. Aku tersentak.
“Sepertinya masih lama,” ulang gadis itu lagi.
Aku mengangguk.
Lalu kami berdua saling diam. Menikmati suara hujan yang menderu. Tapi, diam-diam aku melirik gadis berambut sebahu di sebelahku itu. Aku tersenyum saat melihatnya tersenyum ketika menampung air hujan dari cucuran atap dengan tangkupan tangannya.
“Aku suka hujan.” Akhirnya gadis itu memecah keheningan.
Aku menoleh, dan gadis itu ikut menoleh. Tatapan kami bertemu. Mata gadis itu membentuk garis saat tersenyum.
“Kenapa?” Entah dorongan dari mana, aku bertanya.
“Karena hujan selalu mau kembali, meski tahu rasanya jatuh berkali-kali. ”
Sekali lagi keningku mengerut, tidak begitu paham dengan apa yang gadis itu katakan. Baru saja aku ingin bertanya, gadis itu sudah berlari menembus hujan. Di tengah guyuran hujan, dia berdiri, berbalik menghadapku, lalu melambaikan tangan sambil berteriak, “Hujannya masih lama akan berhenti. Sampai jumpa lagi!”
“Hei!” Aku meneriakinya. Tapi, dia keburu pergi.
Aku menatap tempat gadis itu tadi berdiri, dan sadar aku belum mengenal nama gadis penyuka hujan tersebut.
***
Apakah kalian percaya dengan kebetulan? Aku sama sekali tidak. Menurutku tak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua yang terjadi pasti mempunyai sebab dan akibat sebagai alasannya. Seperti hujan sore ini, dan aku kembali berteduh di ruko tak jauh dari sekolahku.
Aku mengibaskan rambutku yang sedikit basah ketika sebuah suara lembut menyelinap di pendengaranku. Aku menoleh dan mendapati seseorang berdiri beberapa langkah dariku. Orang itu adalah gadis penyuka hujan yang dulu kutemui di tempat ini. Sejak kapan dia ada di sini? bisikku.
“Sepertinya masih lama.” Seperti dulu, dia pun menyapaku dengan kalimat yang sama.
Aku mengangguk, lalu, “Aku Tirta. Kamu?”
Gadis itu tertawa. Suara tawanya begitu jernih, seperti suara lonceng angin. “Aku Raini.”
“Raini?”
“Ya. Ra-i-ni.” ejanya. “Dari kata Rain. Hujan.”
“Ooh,” aku mengangguk. Pantas saja gadis ini menyukai hujan.
“Aku ingin menjadi hujan.”
Lagi-lagi kalimat yang dilontarkan Raini membuatku terkejut.
“Eh?”
“Kau tahu, hujan selalu bisa menyembunyikan orang-orang yang sedang menangis. Aku ingin jadi seperti itu.”
“Tapi …,” belum sempat aku merespon, Raini sudah berlari ke tengah hujan. Gadis itu merentangkan tangan, menatap ke atas, menyambut hujan yang berjatuhan.
“Raini, kau basah kuyup!” tegurku seraya berteriak.
Raini menurunkan wajahnya, dan berkata, “Aku tidak takut hujan!”
Setelah mengatakan itu, Raini berlari pergi. Sementara aku tertegun. Tadi itu, mengapa dia terlihat begitu sedih?
***
Sial! Gara-gara bergadang mengerjakan PR matematika kemarin malam, aku jadi telat bangun. Akibatnya aku terlambat masuk sekolah. Dan, sebagai salah satu sekolah yang terkenal dengan kedisiplinannya, tentu saja aku dikenai hukuman. Membersihkan ruang seni.
Saat bel pulang berbunyi, aku menyeret langkah dengan lunglai ke ruang seni. Beberapa teman sekelas yang berpapasan denganku, menepuk bahuku, dan mengucapkan kata penyemangat. Tapi, tentu saja hal itu tak cukup membantu.
Sesampainya di ruang seni, aku segera melakukan tugasku. Aku harus menyelesaikan ini secepatnya biar bisa segera pulang. Ternyata di ruang seni aku tidak sendirian. Di sana ada dua senior yang ternyata merupakan anggota klub lukis. Aku tersenyum saat mereka menoleh dan melihatku dengan tampang bingung.
Ketika aku sedang membersihkan debu-debu di lukisan—yang aku yakin merupakan karya para anggota klub lukis—aku melihat sebuah lukisan yang terasa tidak asing. Aku mendekati lukisan itu dengan langkah cepat.
Melihat lukisan itu ada gelayar aneh yang menyelusup. Jantungku berdebar-debar. Di dalam lukisan itu, terekam indah dalam sapuan cat minyak dua orang siswa sedang berteduh dari hujan di emperan ruko kosong. Kedua siswa itu saling menatap dan tersenyum.
Entah dorongan dari mana, aku ingin tahu siapa yang melukis lukisan ini. Dan, tidak terlalu sulit. Di sudut bawah, tertulis satu nama. Rain.
Apakah ini lukisan Raini?
“Kau kenal Raini?”
Ternyata tanpa sadar aku menyuarakan apa yang ada di kepalaku dan terdengar oleh salah satu senior yang tadi kulihat. Senior laki-laki berkacamata itu sudah berdiri di sampingku, menatap lukisan itu.
“Kau kenal Raini?”
“Ya,” jawabku.
“Menurutmu bagaimana lukisan ini? Menarik bukan?”
Aku mengangguk menyetujui.
“Raini memang berbakat. Tapi, sayang …,” ada nada sedih di suara senior laki-laki itu yang mengusikku.
“Kenapa?”
“Raini sudah tidak ada. Meninggal setahun lalu ketika pulang sekolah di tengah hujan.”
Dan, mendadak semua terasa sunyi. Semua seakan berhenti. Termasuk detak jantungku.
***
Hujan kembali turun. Begitu deras. Seolah tak ada tanda ingin berhenti. Dan, aku lagi-lagi terjebak di sini, di ruko tempat aku bertemu Raini.
Aku menoleh ke kiri-kanan, berusaha menemukan sosok Raini. Aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan senior laki-laki di ruang seni tadi. Mungkin saja Raini yang dia maksud bukan Raini yang aku temui di sini.
Namun, sampai hujan berhenti Raini tak pernah muncul. Begitu pun pada hujan-hujan berikutnya, di saat aku berteduh di sini, aku tak pernah lagi bertemu Raini. Gadis penyuka hujan itu benar-benar menghilang, seolah ditelan hujan. Dan, di saat aku berdiri di bawah hujan, aku dapat melihat senyum kesedihan Raini di saat terakhir aku melihatnya.
Raini, apa alasanmu datang menemuiku di saat hujan dulu?
Kamar sunyi, 18 Oktober 2015
***
DATA PENULIS
Nama : Kamal Agusta
Alamat: Jl. Pesantren Al-Ikhwan Gg Muslim no 28. Kel. Kulim Kec. Tenayan Raya. Pekanbaru.
No KTP: 1471102408920043