KAU KEAJAIBAN UNTUKKU

Cerpen cinta kali ini merupakan sebuah keajaiban cinta silakan di baca ya



Seperti biasa, pemandangan dan suasana malam di sekitar rumahku sepi dan gelap karena belum adanya lampu penerangan dari listrik. Ditemani suara hewan- hewan kecil di sekitar pekarangan, aku duduk dan melamun memandangi obor yang terpasang di halaman rumah untuk penerang jalan.
*
“Apa yang akan terjadi pada diriku nanti jika hari esok tak seperti hari saat kau di sini?” aku bertanya
pada diriku sendiri dalam hati setelah mendengar ucapannya tadi siang, saat dia membawakan makan siangku di sawah tempat ku bekerja sehari-hari.
*
“Mas Jati, aku rindu dengan keluargaku di kota. Sudah lama aku tak berjumpa. Sudikah kiranya kau
mengantarkan aku ke terminal besok? Aku ingin pulang.” begitulah kata-kata yang dia ucapkan kepadaku.
*
“Mas, kenapa kau melamun? Apa yang menjadi beban dalam benakmu?” tak sadar ternyata seorang
perempuan yang sangat aku cintai telah duduk di sampingku dan memperhatikan ku sejak tadi.
*
Dia adalah Diana. Perempuan dari kota Jakarta yang aku temui satu minggu lalu di tepi sungai saata ku pulang setelah menggarap sawah. Dia dalam keadaan takut histeris karena tepat di hadapannya ada seekor ular cobra hendak menyerangnya. Lalu aku berusaha menolongnya dengan menjauhkan ular itu dengan ranting pohon.
*
Saat ku tatap matanya, aku merasa ada perasaan yang begitu kuat. Mungkin ini yang dinamakan cinta
pada pandangan pertama. Sejak itulah aku mulai menyadari bahwa aku sangat mencintainya.
*
Karena di desa tak ada tempat penginapan dan baru aku yang dia kenal, maka ku tawarkan dia untuk
menginap di rumahku sementara bersama ku dan ibuku. Dan sampai saat ini.
***
“Mas… Kenapa kau tak menjawab? Apa yang terjadi hingga kau seperti ini? Ku mohon katakan pada ku.” suara lembutnya memaksa ku untuk menjawabnya.
*
“Apakah kau yakin dengan keputusanmu? Apakah kau sudah tak nyaman tinggal di sini bersama ku dan ibuku?” kini mataku dan matanya saling menatap. Mataku berkaca-kaca. Begitupun matanya yang sudah meneteskan air mata.
*
“Selama aku di sini, pernahkah aku terlihat sedih atau merana? Aku sangat bahagia. Bahkan sangat bahagia. Namun aku harus kembali ke kota. Keluargaku di sana pasti mencemaskan ku.” suaranya begitu terdengar sedih membuat ku tak sanggup melihatnya.
*
“Maafkan aku, Diana.Tak seharusnya aku membuat mu sedih karena pertanyaanku. Aku hanya tak ingin berpisah dari mu. Andai aku memiliki pilihan, aku lebih memilih untuk tidak mengenal mu dari pada harus melupakan mu.” sejenak aku berhenti berkata menyadari apa yang ku katakana tadi. Ku lihat Diana begitu heran melihat ku seraya mengusap air matanya. Ku lihat dia seperti berfikir sesuatu entah apa aku tak tahu. Hanya sisa isakan tangis yang ku lihat.
*
“Apa maksud dari perkataanmu tadi mas?” tiba-tiba dia bertanya heran pada ku. Aku terdiam, gugup dan tak tahu apa yang harus ku katakan padanya.
*
“Apakah kau benar-benar ingin tahu apa maksudku, Diana?” jawabku pelan sambil ku lihat dia menganggukkan kepala penuh harap.
*
“Diana, besok saat kita di Terminal, aku janji akan mengatakn apa maksudku. Sekarang sudah malam. Kamu harus istirahat untuk perjalanan panjangmu besok pagi. Tidak baik juga angin yang menusuk ini untuk kita. Mari kita masuk!” ajakku sambil ku berdiri terlebih dulu. Lalu kami pun masuk dan ku antar Diana sampai di pintu kamarnya dan aku pun masuk ke kamarku.
*
“Diana, bukan aku tak mau mengatakan perasaanku pada mu. Tapi aku tak ingin kau menjauhi ku jika kau tahu perasaankupada mu.” bisikku dalam hati mencoba memejamkan mata.
***
Ku lihat awan tebal hitam menandakan hujan akan turun. Ku lihat Diana telah bersiap dengan tas yang dibawanya. Setelah berpamitan dengan ibu, kami pun langsung menuju terminal sebelum hujan turun.
*
Dengan berjalan kaki sejauh dua kilometer dan menaiki ojek sepeda sejauh enam kilometer, akhirnya kami pun sampai di terminal sebelum hujan turun. Kursi panjang di teras kiosyang entah kenapa hari ini tutup menjadi tempat kami duduk berdua seraya menunggu bus yang akan dinaiki Diana.
*
Hujan pun turun disertai angin semilir.
*
“Apa yang akan kau katakan, Mas? Apa kau akan menjelaskan tentang perkataanmu semalam?” tiba- tiba Diana memulai perbincangan setelah sebelumnya kami sempat saling berdiam beberapa menit. Sepertinya Diana benar-benar ingin mengetahuinya. *
“Iya, Diana. Diana, maafkan aku yang tak berkaca telah mencintaimu. Ingin aku mencoba menahan semua ini. Namun perasaan ini teramat kuat. Tak sepantasnya aku mencintaimu yang begitu sempurna.” begitu lepasnya aku mengatakan yang ada dalam hati ini.
*
“Sssttt… Aku mohon kau jangan seperti itu. Mencintai bukanlah sebuah kesalahan. Aku pun bukan perempuan yang sempurna. Aku penuh kekurangan. Asal kau tahu, bahwa aku … Thit thit….” suara klakson bus berbunyi memotong kata-kata Diana. Ku lihat bus di sana dan terlihat lambaian kondektur yang bermaksud memanggil Diana untuk masuk ke dalam bus.
*
“Mas, bus-nya segera beranjak. Aku harus pergi. Percaya padaku! Aku merasakan apa yang kau rasakan. Jaga hatimu mas. Aku janji, tepat dua tahun lagi di waktu yang sama dan tempat yang sama ini, yang menjadi saksi bisu, aku akan menemui mu.” ucapnya seraya berdiri memandang ku dan akan berjalan menuju sumber suara klakson itu.
*
“Diana, tunggu! Hujan semakin deras. Izinkan aku mengantar mu sampai bus!" kataku sambil berdir mengikuti Diana dan melepas jaket yang ku kenakan di tubuhku.
*
Lalu kami pun belari kecil menuju bus dengan berpayung jaket untuk melindungi basah dari air hujan. Sampai di pintu bus, Diana memeluk erat tubuhku. Hingga dingin angin dan air yang membasahi kami berdua seakan tak terasa lagi. Lalu dia membisikan kata-kata di telingaku, “Aku mencintai
mu, Jati.”
*
Lalu dia menaiki bus dan tersenyum manis untuk ku serta melambaikan tangannya. Itu menjadi detik terakhir aku meliht dia. Ku saksikan laju bus itu hingga tak terlihat karena jarak pandang.
***
Tak seharipun aku berlalu dari wajahnya. Masa itu, tepat dua tahun yang lalu aku dan dia duduk dikursi ini. Masih sangat jelas ku ingat tentang janji-janji yang dia ucapkan. Meskipun begitu banyaknya perkataan orang yang menganggap aku ini laki-laki bodoh. Laki-laki yang sekian lama hanya menanti khayalan semu. Apa lagi saat mereka membandingkan teman-teman sebayaku yang hampir semuanya telah beristri juga memiliki buah hati.
*
Hari semakin sore. Senjapun mengisyaratkan petang akan datang. Namun yang ku nanti tak kunjung pasti. Tak mungkin aku terus di sini, mengingat rumahku yang jauh.
***
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan hingga enam bulan berlalu. Pujaan hati yang ku nanti tak kunjung menepati janji. Aku sungguh dilema. Haruskah aku tetap menanti atau aku anggap ini hanya mimpi lalu. Namun dia masih selalu di hati.
*
“Anakku, sampai kapan kau akan bermurung seperti ini? Jika kau berharap bersama kebahagiaanmu, maka kejarlah cintamu!” ibuku berkata-kata kepada ku yang sebenarnya belum aku pahami maksudnya.
*
“Maksud ibu aku harus menyusul dia ke kota? Jakarta itu jauh, kejam, dan perlu biaya. Ibu tahu kan aku belum pernah ke kota besar? Dan di mana Diana tinggal pun aku tak tahu, Bu.”jawabku coba menjelaskan kepada ibu yang ku anggap belum mengerti.
*
“Apa yang kau takutkan nak? Kau sudah bukan anak kecil lagi. Soal biaya, bukankah kau punya beberapa kambing peliharaanmu selama ini. Dan ini, dulu ibu menemukan saat merapikan kamar yang pernah ditempati Diana.” jelas ibu sambil memberikan sepercik kertas yang ternyata kartu nama Diana.
*
“Nak, jangan cemaskan ibu! Percayalah! Ibu baik- baik saja. Kebahagiaan sejati seorang ibu adalah saat bisa melihat anaknya bahagia.” tutur ibu menambahkan, saat aku terdiam menatap kartu nama dan berfikir bagaimana jika ku pergi meninggalkan ibu sendiri. Sungguh tak bisa aku berkata apa-apa lagi. Hanya air mataku yang membasahi pundak baju ibuku saat kupeluk beliau.
***
Tiga hari berlau. Semua telah aku persiapkan. Aku pun yakin dengan tekadku ini, aku pasti bisa menemukan cintaku.
*
Setelah meminta izin Ibu, aku pun berangkat ke kota dengan bus dari Terminal yang dulu sebagai tempat terakhirku melihat Diana.
*
Akhirnya aku sampai di kota. Semuanya serba asing bagi ku. Rasa lelah tak mengurangi tekadku. Dengan bermodal kartu nama di tanganku, ku tanyai satu persatu orang yang ku lihat disini. Namun hasilnya nihil. Tak ku temui juga sampai satu minggu ini. Pernah ku datangi rumah yang ada di alamat kartu nama ini. Namun yang ku temui hanya seorang perempuan setengah baya yang memberi tahu padaku bahwa Diana sudah lama tak tinggal di sana. Dia pun tak tahu dimana Diana tinggal sekarang.
*
Tempat ibadah menjadi tempat singgahku. Bahkan tak jarang kolong jembatan menjadi tempat istirahatku di hiruk pikuk kota Jakarta. Lelah dan putus asa mulai menghampiri ku.
*
Suatu hari aku membeli makan di warung nasi sederhana. Sengaja ku minta nasiku untuk dibungkus agar kotor dan bau tubuhku tak mengganggu selera makan pengunjung. Setelah ku makan, tak sengaja ku lihat sebuah foto sepasang laki-laki dan perempuan mengenakan pakaian pengantin di potongan kertas koran pembungkus nasiku. Setelah ku amati, terlihat jelas perempuan itu persis muka Diana. Sayangnya nama dari perempuan itu tidak terbaca karen terbawa potongan kertas yang lain. Hanya terbaca REZA& DIA saja. Hari dan tanggal pernikahanpun tepat hari ini.
*
Tanpa fikir panjang lalu ku coba bertanya alamat yang tertera di koran itu pada orang sekitar. Setelah ku dapat informasi, lalu ku menuju alamat itu dengan menaiki taksi. Alamat itu tak terlalu jauh jika ditempuh dengan menaiki taksi. Untunglah sopir taksi berkenan menuruti kehendakku untuk mempercepat laju kendaraan agar aku bisa berada di sana secepat mungkin.
*
Ku lihat dekorasi dan janur kuning menghiasi sekitar rumah. Terlihat juga beberapa tamu undangan yang telah hadir yang hendak meninggalkan pesta karena pernikahan telah dilaksanakan. Aku benar-benar merasa penantian dan pengorbananku hanya sia-sia.
*
“Diana, inikah balasanmu kepadaku? Dua tahun lebih aku menanti mu. Ku korbankan semua hasratku hanya untuk menanti mu. Tapi kau…?!!!” ku keluarkan semua amarahku pada Diana setelah aku masuk rumah dan tanpa mempedulikan orang-orang di sekitar yang memperhatikan ku.
*
“Jati. Apakah kau Jati? Aku mohon kendalikan amarahmu! Ikutilah aku!” kata-kata yang dikeluarkan Diana.
*
Ku perhatikan dia berjalan menuju arah kamar yang tak jauh dari ruang tamu. Dengan bertanya-tanya aku pun mengikuti Diana sampai di depan pintu yang telah dia buka. Aku tak tahu kenapa matanya menangis.
*
“Masuklah ke dalam dan temui dia!” Diana menunjuk seseorang yang sedang terbaring tak sadarkan diri dengan segala peralatan medis selayaknya pasien di Rumah Sakit.
*
“Siapa dia? Apa hubungannya dengan ku?” tanyaku penasaran seraya ku langkahkan kaki mendekati tempat tidur.
*
“Siapa ini, Diana? Kenapa wajahnya begitu mirip dengan wajahmu?” tanyaku kaget.
*
“Aku Diani. Saudara kembar Diana. Dulu Diana merasa sangat sakit hati karena cintanya dikhianati oleh kekasihnya. Hingga dia merasa tak punya semangat hidup lagi. Kemudian dia pergi entah kemana. Dan seminggu kemudian kami mendengar kabar bahwa bus yang dia tumpangi mengalami kecalakaan. Diana mengalami koma sampai saat ini. Dokter hanya bisa pasrah dan hanya keajaiban yang bisa menolong Diana. Apa kau mencintai Diana?”
*
“Aku mencintainya. Bahkan sangat mencintainya.” jawabku dengan rasa senang, sedih, haru dan belum percaya bercampur jadi satu.
*
“Dulu Diana pernah bilang bahwa dia tak akan mengucap kata cinta lagi selain dengan laki-laki yang benar-benar mencintainya. Selama dia koma, pernah sekali dia siuman. Yaitu enam bulan lalu, tepat dua tahun dia mengalami koma. Itupun tak lama. Dia hanya sempat menyebut namamu saja.” tambah Diani dengan tangis sedihnya.
*
“Diani, aku mohon hentikan tangisanmu! Aku yakin Diana pasti akan sembuh.” aku berusaha menguatkanDiani.
*
Ku coba genggam lembut telapak tangan Diana dan ku cium tangannya sekali. Dan aku berdo’a dalam hati.
*
“Diana, sadarlah! AkuJati, di sini untuk kesembuhanmu. Semua orang menyayangi mu. Tuhan sembuhkanlah Diana. Aku yakin keajaiban pasti ada.” Selang beberapa detik, ku lihat air matanya mengalir. Ku rasakan jari-jari tanganya bergerak perlahan.
*
“Diani… Lihat! Diana siuman.”
*
Lalu Diani memegang telapak tangan Diana. Da keluarga menuju kamar Diana. Ku lihat mata Diana mulai membuka. Dia tersenyum dan berusaha menggerakkan bibirnya.
*
“Aku mencintai mu, Jati”
*
Itulah kata-kata pertama yang diucapkan Diana setelah sembuh dari koma yang dialamainya selama lebih dari dua tahun.
*
SELESAI…
*
*
Karya : MASRUROTUN
Facebook : Azrur Ka Mas