Hadiah Terakhir Ibu
Cerpen sedih dengan judul Hadiah Terakhir Ibu di jamin bikin mewek silakan baca deh
Aku memainkan jari jariku diatas tuts tuts piano hitam dan putih ini. Semua emosi ku keluarka sesuai dengan irama. Aku amat nyama memainkan piano putih peninggalan ayah, bahkan sambil memejamkan mat pun aku bisa memainkan sebuah lagu tanpa salah sedikit pun Semuanya memang gelap, aku memejamkan mata dan membuka tetap saja gelap. Namaku Ririn, dan aku buta. Aku tinggal bersama seorang wanit paruh baya yang ku panggil ibu. Ayah ku sudah meninggal sejak aku
berumur 6 tahun. Ia meninggal karena kecelakaan, mobil yang d tumpangi aku, ayah dan ibu di tabrak oleh sebuah sedan biru yan melaju kencang sehingga mobil yang kami tumpangi terseret hingga 1 kilometer. Kecelakaan itu merenggut nyawa ayahku, dan mengambi penglihatanku namun tidak mengantarkan aku dan ibu kepada maut.
berumur 6 tahun. Ia meninggal karena kecelakaan, mobil yang d tumpangi aku, ayah dan ibu di tabrak oleh sebuah sedan biru yan melaju kencang sehingga mobil yang kami tumpangi terseret hingga 1 kilometer. Kecelakaan itu merenggut nyawa ayahku, dan mengambi penglihatanku namun tidak mengantarkan aku dan ibu kepada maut.
Aku tidak pernah memusingkan hal itu. Menurutku itu sudah jalan aya untuk pergi. Bukankah setiap kematian mempunyai ceritanya masin masing? Walau aku sempat terpukul karena kehilangan ayah dan penglihatanku, namun aku tak pernah takut. Ada ibu di sisiku, ak selalu tahu Namun sejak kepergian ayah, kondisi badan ibu mulai menurun. Ia mula sakit sakitan. Entah apa yang dipikirkan ibu, rasanya aku ingin iku membawa beban itu. Aku tak pernah tau sakit apa yang ibu derita, aku juga tidak pernah tau sepucat apa ibu sekarang. Aku ingin tau tapi ibu tak pernah memberitahuku jadi aku hanya menutup rapat rapat keingina itu.
“Hebat ya Rin kamu bisa main piano selancar ini. Ibu dulu selalu saja gagal. Pasti lupa not nya terus hihi” ibu memuji permainanku dengan nada lucu. Aku ikut tertawa “Ibu kan jagonya di biola” kataku, saat aku menyudahi permainanku. Kami terdiam “Ibu bagaimana kabar ayah disana yah?” aku bergumam. Aku tak bisa melihat wajah ibu tapi aku yakin ia menahan air mata sambil tersenyum “Dia sudah tenang sayang, ayah pasti bangga melihat kamu sudah mahir bermain piano” aku hanya tersenyum “Nah sudah malam. Yuk tidur, besok kan kamu sekolah” ajak ibu. Aku mengangguk. Ibu menuntunku menuju kamarku. Aku memejamkan mata diatas kasur, menarik selimutku, dan membiarkan ibu mengantarku menuju alam bawah sadarku.
***
“Bangun Rin. Mandi, sarapan. Sudah pagi” ibu membangunkan ku. Aku mengangguk patuh, bersiap siap menuju sekolah dan menuju ruang makan. Aku tak perlu kesulitan untuk keruang makan karena aku sudah hapal jalan dari kamarku kemeja makan. “Menu pagi ini apa bu?” “Sandwich tuna, kesukaan kamu” jawab ibu. Aku yakin beliau tersenyum. Ibu selalu bangga jika berhasil menyiapkan makanan kesukaanku, walau hanya roti isi ikan. Ibu selalu hemat akan pengeluaran karena dia tau
ikan itu mahal harganya, ulang tahun ku pun ibu tak pernah memberi hadiah. Hanya doa tulus yang terucap dari bibirnya dan bahkan selama ini kami hanya makan dengan singkong rebus atau mungkin membeli nasi uduk. Murah dan mengenyangkan.“Asiikk. Boleh nambah kan bu?” aku bertanya boleh harap. “Boleh dong. Nih ibu taruh 2 sandwich di piring mu ya” kata ibu. “Ibu makan apa?” tanyaku
“Emmm... ibu makan nasi nak” tapi aku mencium bau harum singkong rebus “Ibu makan singkong ya? Nih ambil punyaku” aku mendorong piring berisi dua buah sandwich tuna yang belum kusentuh. “Sudah buat kamu aja” tolak ibu. “Ibuu,, Ririn makan sandwich ibu juga harus makan sandwich.
***
“Bangun Rin. Mandi, sarapan. Sudah pagi” ibu membangunkan ku. Aku mengangguk patuh, bersiap siap menuju sekolah dan menuju ruang makan. Aku tak perlu kesulitan untuk keruang makan karena aku sudah hapal jalan dari kamarku kemeja makan. “Menu pagi ini apa bu?” “Sandwich tuna, kesukaan kamu” jawab ibu. Aku yakin beliau tersenyum. Ibu selalu bangga jika berhasil menyiapkan makanan kesukaanku, walau hanya roti isi ikan. Ibu selalu hemat akan pengeluaran karena dia tau
ikan itu mahal harganya, ulang tahun ku pun ibu tak pernah memberi hadiah. Hanya doa tulus yang terucap dari bibirnya dan bahkan selama ini kami hanya makan dengan singkong rebus atau mungkin membeli nasi uduk. Murah dan mengenyangkan.“Asiikk. Boleh nambah kan bu?” aku bertanya boleh harap. “Boleh dong. Nih ibu taruh 2 sandwich di piring mu ya” kata ibu. “Ibu makan apa?” tanyaku
“Emmm... ibu makan nasi nak” tapi aku mencium bau harum singkong rebus “Ibu makan singkong ya? Nih ambil punyaku” aku mendorong piring berisi dua buah sandwich tuna yang belum kusentuh. “Sudah buat kamu aja” tolak ibu. “Ibuu,, Ririn makan sandwich ibu juga harus makan sandwich.
Ririn gak mau makan kalo ibu Cuma makan singkong” ibu hanya menghela nafas. Sifat keras kepala ku sama kerasnya dengan ayah, itulah yang membuat ibu kalap jika sifat itu sudah muncul “Iya iya ibu makan punya kamu”
“Gak boleh di belah 2” aku membaca pikiran ibu, ibu hanya menghela nafas lagi “Iyaaa Ririn. Yasudah makan sana. Nanti terlambat” perintah ibu. Aku melahap sandwich isi tuna yang rasanya sudah lama kurindukan. Sejak ayah meninggal, aku jarang sekali makan roti isi tuna ini. Aahh nikmatnya. Aku meneguk susu rasa vanila yang hampir dingin. Kring
kring..
“Ibu aku berangkat yaaaaa” aku mencium tangan ibu ku dan mengecup pipi nya. Ibu membelai rambutku “Hati hati Rin” aku mengangguk dan berlari kedepan pintu, menuju seseorang yang sudah kuhapal siapa. “Berangkat kitaaaa” Clea, teman ku menyerukan kata kata itu dengan semangat. Aku yakin ia sedang mengepalkan kedua tangannya dan mengangkat keatas. Aku tahu itu dari teman teman, Clea memang selalu bersemangat “Siaaap” aku duduk di jok belakang sepedanya. Dan Clea mengkayuh sepeda nya menuju sekolah kami.
***
Hari ini pelajaran seni vokal. Aku cukup mahir bernyanyi dan menarikan tutsku di atas piano, atau menggesekan biola di rumah ku yang kuyakin berwarna putih, peninggalan ayah dan ibu. Ayah seorang pianis dan ibu amat lihai bermain biola. Aku juga pandai bermain gitar, namun aku tak yakin masih bisa memetik senar senar gitar karena sudah lama aku tak bermain gitar. Pasti jari jariku akan sakit.
“Anak anak silahkan siapkan lagu yang akan kalian bawakan. Boleh diiringi alat musik seperti biasa” suara bu Pia terdengar lembut. Aku sudah menyiapkan lagu yang akau kubawakan. Sebuah lagu untuk ibu ku.
“Ya ampun” suara Clea mengagetkan ku. “Ada apa Lea? Kelupaan buku lagu ya? “ bu Pia sudah hapal kebiasaan murid berseragam putih biru nya yang kelewat bersemangat ini. Saking semangat nya sampai buku lagu nya pun tak ia bawa. “Hehe iya bu. Bu boleh Clea ambil kerumah kan? Rumah
Clea kan dekat” Clea pasti memasang muka memelas, aku hanya tersenyum mendengar celotehannya. “Yasudah cepat ya. Jangan di bawa bawa gitar kamu nanti malah gitar kamu yang ketinggalan” bu Pia menggoda Clea. Semua teman teman kelas ku tertawa kecil “Hehe iya bu nih Clea taruh gitar Clea” Clea memang pandai bermain gitar, aku ingin melihat wajah Clea saat ia bermain gitar. Aku juga ingin melihat wajah teman teman ku, bu Pia dan wajah ibu. Aku kangen, sudah lama tidak melihat wajah ibu. Aku ingin melihat dunia ku, ingin melihat diriku bermain piano. “Rin, aku ngambil buku laguku dulu yah. Kamu mau nitip sesuatu gak?” rumah ku dan Clea memang berdekatan. “Nggak Le, sudah cepat. Nanti pelajarannya keburu habis” jawabku. Mungkin Clea sedang mengangguk, dan derap langkahnya kudengar menjauh dari pendengaranku.
“Gak boleh di belah 2” aku membaca pikiran ibu, ibu hanya menghela nafas lagi “Iyaaa Ririn. Yasudah makan sana. Nanti terlambat” perintah ibu. Aku melahap sandwich isi tuna yang rasanya sudah lama kurindukan. Sejak ayah meninggal, aku jarang sekali makan roti isi tuna ini. Aahh nikmatnya. Aku meneguk susu rasa vanila yang hampir dingin. Kring
kring..
“Ibu aku berangkat yaaaaa” aku mencium tangan ibu ku dan mengecup pipi nya. Ibu membelai rambutku “Hati hati Rin” aku mengangguk dan berlari kedepan pintu, menuju seseorang yang sudah kuhapal siapa. “Berangkat kitaaaa” Clea, teman ku menyerukan kata kata itu dengan semangat. Aku yakin ia sedang mengepalkan kedua tangannya dan mengangkat keatas. Aku tahu itu dari teman teman, Clea memang selalu bersemangat “Siaaap” aku duduk di jok belakang sepedanya. Dan Clea mengkayuh sepeda nya menuju sekolah kami.
***
Hari ini pelajaran seni vokal. Aku cukup mahir bernyanyi dan menarikan tutsku di atas piano, atau menggesekan biola di rumah ku yang kuyakin berwarna putih, peninggalan ayah dan ibu. Ayah seorang pianis dan ibu amat lihai bermain biola. Aku juga pandai bermain gitar, namun aku tak yakin masih bisa memetik senar senar gitar karena sudah lama aku tak bermain gitar. Pasti jari jariku akan sakit.
“Anak anak silahkan siapkan lagu yang akan kalian bawakan. Boleh diiringi alat musik seperti biasa” suara bu Pia terdengar lembut. Aku sudah menyiapkan lagu yang akau kubawakan. Sebuah lagu untuk ibu ku.
“Ya ampun” suara Clea mengagetkan ku. “Ada apa Lea? Kelupaan buku lagu ya? “ bu Pia sudah hapal kebiasaan murid berseragam putih biru nya yang kelewat bersemangat ini. Saking semangat nya sampai buku lagu nya pun tak ia bawa. “Hehe iya bu. Bu boleh Clea ambil kerumah kan? Rumah
Clea kan dekat” Clea pasti memasang muka memelas, aku hanya tersenyum mendengar celotehannya. “Yasudah cepat ya. Jangan di bawa bawa gitar kamu nanti malah gitar kamu yang ketinggalan” bu Pia menggoda Clea. Semua teman teman kelas ku tertawa kecil “Hehe iya bu nih Clea taruh gitar Clea” Clea memang pandai bermain gitar, aku ingin melihat wajah Clea saat ia bermain gitar. Aku juga ingin melihat wajah teman teman ku, bu Pia dan wajah ibu. Aku kangen, sudah lama tidak melihat wajah ibu. Aku ingin melihat dunia ku, ingin melihat diriku bermain piano. “Rin, aku ngambil buku laguku dulu yah. Kamu mau nitip sesuatu gak?” rumah ku dan Clea memang berdekatan. “Nggak Le, sudah cepat. Nanti pelajarannya keburu habis” jawabku. Mungkin Clea sedang mengangguk, dan derap langkahnya kudengar menjauh dari pendengaranku.
Beberapa temanku sudah maju. Ada Sisca dengan suara emasnya namun tak diiringi oleh alat musik apapun. Beno yang diiringi dengan gitar
akustiknya, Safira, Dea, Gilang, dan teman teman yang lain sudah
tampil. Aku hanya bisa mendengarnya tanpa bisa melihatnya. Suatu hari
aku akan melihatnya. “Rin, kamu mau maju nggak?” Bu Pia menawarkan,
aku mengangguk “Iya bu”
Jari jariku agak dingin dan berkeringat, aku melemaskan jari jariku
dan aku membawakan sebuah lagu dari Agnes Monica yang berjudul Rapuh
Belum sempat kumembagi kebahagiaanku...
Belum sempat kumembuat dia tersenyum...
Haruskah ku kehilangan tuk kesekian kali...
Tuhan ku mohon jangan lakukan itu...
Aku menarik nafas, membayangkan sosok ibu ku yang tak pernah letih
merawatku. Wajahku terasa panas dan kurasa air mataku hampir mengalir.
Sebab kusayang dia...
Sebab kukasihi dia..
Sebab ku tak rela, tak slalu bersama..
Kurapuh tanpa dia...
Seperti kehilangan harap...
Aku masih memainkan piano ini walau air mataku sudah mengalir deras. Kudengar beberapa isak tangis. Aku juga sudah menangis namun aku tak mau merusak suara ataupun permainan ku.
Jikalau memang harus kualami duka...
Kuatkan kati ini menerimanya...
Sebab kusayang dia...
Sebab kukasihi dia...
Sebab kutak rela, tak slalu bersama...
Kurapuh tanpa dia..
Seperti kehilangan haraappp..
Haaaaa... haaaaaa....
Sebab kusayang dia...
Sebab kukasihi dia...
Sebab kutak rela, tak slalu bersama..
Kurapuh tanpa dia..
Seperti kehilangan harap..
Aku menyudahi permainanku dan menyeka air mata, terdengar riuh tepuk tangan dari teman teman. “Lagu itu buat siapa Rin? Kok kamu menghayati banget?” tanya bu Pia “Buat Ibu Ririn” jawabku. Tiba tiba kudengar pintu kelas di buka dengan keras. Suara Clea ku dengar, dengan amat panik, dan tarikan
nafas tak beraturan “Ririn!!! Ibu kamu...” Setelah itu aku tak tau aku ada dimana...
***
Aku mengayuh sepedaku dengan cepat. Buku lagu ku tertinggal dirumah, huh aku memang teledor. Rumah ku sepi karena ayah dan ibuku pergi bekerja. Adik ku, Lilia, sedang sekolah dan hanya ada bi Ijah. “Bi buku lagu Clea dimana?” tanyaku. Bi Ijah mengernyitkan dahinya
“Kan kemarin non Clea yang bawa bawa. Bibi nggak tahu. Mungkin di ruang musik” jawabnya. Oh iya! Aku baru ingat kemarin aku memakainya untuk latihan. Aku bergegas mengambilnya dan cepat cepat ingin kembali kesekolah.
Ku lihat rumah Ririn yang tak seberapa jauh dari rumahku. Pintunya terbuka sedikit, apakah ada orang? Mana ibu nya Ririn? Mengapa pintu di biarkan terbuka begitu. Aku penasaran, takut ada maling masuk kerumahnya. Walau aku sendiri juga takut tapi aku beranikan diri mendekat kesana. Kukayuh sepedaku kerumah Ririn. Kuintip dari balik jendela. Tidak ada siapa siapa, hanya ibu nya Ririn yang kesakitan memegang dadanya. “Ibu gak apa apa?” aku masuk dan berteriak panik. Ibu nya Ririn menunjuk obat di sofa “O...bat ibuu
a....” ibu Ririn mengucapkan nya dengan tersendat dan sesak. Aku meraih obat itu dan.. abis! Aku panik, aku bukan dokter, tukang pijit tukang roti ah apalah. Aku hanya siswi SMP saja apa yang harus kulakukan? “Ibu tunggu sebentar ya. Clea mau manggil tetangga” aku lari ke rumah bu Sintia di sebelah, beliau segera kerumah Ririn, aku memanggil yang lain dan terakhir kusuruh bi Ijah kerumah Ririn untuk membawa ibu nya Ririn kerumah sakit atau klinik terdekat. Aku mengunci pintu rumah “Biarin bi. Yang penting nyawa ibunya Ririn. Ayah, ibu dan Lilia pasti mengerti” aku menenangkan bi Ijah yang ketakutan jika rumah di bobol maling. Aku cepat cepat kembali kesekolah, ingin memberi tahu Clea.
Aku mengayuh dengan kecepatan tinggi. Aku hampir saja terjatuh jika aku tak menjaga keseimbangan. Saat sampai di sekolah, sepedaku ku banting begitu saja. Pak Joko, satpam sekolah ku terkaget kaget “Ada apa neng? Hati hati” teriaknya. Aku berlari “Darurat bang” aku seger kekelas. Aku mendobrak pintu kelasku, kulihat Ririn masih berdiri didekat piano. Ia menoleh walau tak bisa melihat “Ririn!!! Ibu kamu sekarang ada dirumah sakit!!!” dan kemudian Ririn ambruk dalam pelukan bu Pia
***
Aku menatap gerimis kecil di pemakaman ini. Batu nisan bertuliska nama Ibuku sedikit basah terkena air hujan yang malu malu. Aku diam mencium aroma tanah basah, mencium aroma duka.
Aku pernah bilang bukan ingin tahu penyakit ibuku yang sekaran membawanya menuju kematian? Ibu terkena penyakit jantung dan asma yan bersamaan. Entah berasal dari pola makannya yang tak teratur atau dar beban beban yang di deritanya. Bermacam warna bunga berserakan d makan ibuku. Ya, aku bisa melihat.
Di hari ibu masuk rumah sakit, aku pingsan dan saat itu aku d operasi. Operasi pencangkokan mata dan mata itu dari ibu. Aku sempa protes ketika kurasakan nyeri di mataku dan perban membalut mata hingga dahiku “Ibu,, Ririn mau ketemu Ibu!!!!” aku meraung raung Kudengar suara bu Pia di sampingku, kurasa ia menggenggam tanganku “Tenang Rin, tenang!” bu Pia menenangkan ku. “Ibu saya manaaa?!!!! aku menggertak sambil meronta ingin melepaskan genggaman tangan b Pia. Aku mencoba turun dari tempat tidur tappi kepalaku saat pusin dan terasa amat nyeri. Aku kehilangan keseimbangan tapi bu Pia memelukku “Bu.. Ibu saya dimana bu? Beliau kenapa? Terus kenapa mat saya di perban?” aku menodong bu Pia dengan beberapa pertanyaa Terdengar suara laki laki yang amat berat “Tenang nak Ririn” katanya “Anda siapa?” tanyaku “Saya dokter” jawabnya “Mana ibu saya?” desakku. Ku dengar isakan bu Pia “Ibu kenapa? Mana ibu saya bu?” aku terus mendesaknya. Aku mulai cemas “Ibu kamu sudah
nggak ada Rin?”
“Maksud ibu? Ibu kemana?” tanyaku mulai panik dan mulai menghayalka yang tidak tidak. “Ibu kamu di panggil duluan,meninggal” bu Pia maki erat memelukku. Aku terdiam. Mendadak sinis tanpa air mata yan mengalir “Kenapa?” tanyaku. Bu Pia kaget dengan reaksi ku yang berubah drasti “Beliau terkena penyakit asma dan jantung yang sudah lama d deritanya. Kini penyakit itu kambuh dan merenggut nyawanya” jelas b Pia. “Dokter sudah berusaha sebisa mungkin namun dia tetap tidak bis menyelamatkan ibu mu” “Kamu tadi di operasi pencangkokan mata. Mat dari ibu kamu. Kita lagi di ahli mata. Ibu mu di kamar bawah” jelas b Pia. “Bawa saya ke beliau bu” jawab ku datar. Tak menangis sedikitpu namun hatiku terasa amat perih, seperti disayat beribu ribu kali.
***
Aku harus kontrol hasil pencangkokan ini selama sebulan. Dan saa perban sudah mulai di buka aku merasa deg degan. Bu Pia selal menggenggam tanganku, mencoba berbagi kehangatan. Clea melakukan ha yang sama. Awalnya terasa gelap dan nyeri. Lama lama aku melihat
cahaya dan... semua terang
Seorang laki laki paruh baya berbaju ala dokter berada di depa ku. Ku lihat seorang ibu muda menggenggam tanganku. Dan gadis sebay ku.
“Kamu Clea? Bu Pia?” aku bertanya. Mereka berdua mengangguk. “Akhirny kamu bisa melihat” kata Clea. Clea dan bu Pia memelukku, aku ta membalas pelukannya. Yang ku pikirkan adalah “Antar saya kemakam ib saya, bu”
Dan jadilah aku berada dimakam ibuku. Gerimis kecil sediki membuat ku sedikit kepayang. Aku menyentuh nisan itu untuk pertam kalinya. Merasakan kesepian untuk kedua kalinya. Aku menangis kecil meningat aku sudah tidak punya orangtua lagi. Tidak ada lagi yan menyiapkan ku sarapan walau hanya sepotong singkong rebus, tidak ad lagi celotehan tentang betapa lemah nya dirinya dalam bermain piano tidak ada lagi pujian tulus betapa hebat permainan piano ku, karen semua itu telah pergi. Di bawa pergi oleh ibu ku yang kini sudah
berada di dalam tanah sepi.
“Ibu apa kabar mu? Ririn kangen ibu” aku membisikan kata itu disel tangisku. Bu Pia mengelus rambut ku dan menyerahkan sepucuk surat. Ak membaca nya, ini tulisan ibu. Sehari sebelum beliau di panggil Sepertinya ia sudah mempunyai firasat.
akustiknya, Safira, Dea, Gilang, dan teman teman yang lain sudah
tampil. Aku hanya bisa mendengarnya tanpa bisa melihatnya. Suatu hari
aku akan melihatnya. “Rin, kamu mau maju nggak?” Bu Pia menawarkan,
aku mengangguk “Iya bu”
Jari jariku agak dingin dan berkeringat, aku melemaskan jari jariku
dan aku membawakan sebuah lagu dari Agnes Monica yang berjudul Rapuh
Belum sempat kumembagi kebahagiaanku...
Belum sempat kumembuat dia tersenyum...
Haruskah ku kehilangan tuk kesekian kali...
Tuhan ku mohon jangan lakukan itu...
Aku menarik nafas, membayangkan sosok ibu ku yang tak pernah letih
merawatku. Wajahku terasa panas dan kurasa air mataku hampir mengalir.
Sebab kusayang dia...
Sebab kukasihi dia..
Sebab ku tak rela, tak slalu bersama..
Kurapuh tanpa dia...
Seperti kehilangan harap...
Aku masih memainkan piano ini walau air mataku sudah mengalir deras. Kudengar beberapa isak tangis. Aku juga sudah menangis namun aku tak mau merusak suara ataupun permainan ku.
Jikalau memang harus kualami duka...
Kuatkan kati ini menerimanya...
Sebab kusayang dia...
Sebab kukasihi dia...
Sebab kutak rela, tak slalu bersama...
Kurapuh tanpa dia..
Seperti kehilangan haraappp..
Haaaaa... haaaaaa....
Sebab kusayang dia...
Sebab kukasihi dia...
Sebab kutak rela, tak slalu bersama..
Kurapuh tanpa dia..
Seperti kehilangan harap..
Aku menyudahi permainanku dan menyeka air mata, terdengar riuh tepuk tangan dari teman teman. “Lagu itu buat siapa Rin? Kok kamu menghayati banget?” tanya bu Pia “Buat Ibu Ririn” jawabku. Tiba tiba kudengar pintu kelas di buka dengan keras. Suara Clea ku dengar, dengan amat panik, dan tarikan
nafas tak beraturan “Ririn!!! Ibu kamu...” Setelah itu aku tak tau aku ada dimana...
***
Aku mengayuh sepedaku dengan cepat. Buku lagu ku tertinggal dirumah, huh aku memang teledor. Rumah ku sepi karena ayah dan ibuku pergi bekerja. Adik ku, Lilia, sedang sekolah dan hanya ada bi Ijah. “Bi buku lagu Clea dimana?” tanyaku. Bi Ijah mengernyitkan dahinya
“Kan kemarin non Clea yang bawa bawa. Bibi nggak tahu. Mungkin di ruang musik” jawabnya. Oh iya! Aku baru ingat kemarin aku memakainya untuk latihan. Aku bergegas mengambilnya dan cepat cepat ingin kembali kesekolah.
Ku lihat rumah Ririn yang tak seberapa jauh dari rumahku. Pintunya terbuka sedikit, apakah ada orang? Mana ibu nya Ririn? Mengapa pintu di biarkan terbuka begitu. Aku penasaran, takut ada maling masuk kerumahnya. Walau aku sendiri juga takut tapi aku beranikan diri mendekat kesana. Kukayuh sepedaku kerumah Ririn. Kuintip dari balik jendela. Tidak ada siapa siapa, hanya ibu nya Ririn yang kesakitan memegang dadanya. “Ibu gak apa apa?” aku masuk dan berteriak panik. Ibu nya Ririn menunjuk obat di sofa “O...bat ibuu
a....” ibu Ririn mengucapkan nya dengan tersendat dan sesak. Aku meraih obat itu dan.. abis! Aku panik, aku bukan dokter, tukang pijit tukang roti ah apalah. Aku hanya siswi SMP saja apa yang harus kulakukan? “Ibu tunggu sebentar ya. Clea mau manggil tetangga” aku lari ke rumah bu Sintia di sebelah, beliau segera kerumah Ririn, aku memanggil yang lain dan terakhir kusuruh bi Ijah kerumah Ririn untuk membawa ibu nya Ririn kerumah sakit atau klinik terdekat. Aku mengunci pintu rumah “Biarin bi. Yang penting nyawa ibunya Ririn. Ayah, ibu dan Lilia pasti mengerti” aku menenangkan bi Ijah yang ketakutan jika rumah di bobol maling. Aku cepat cepat kembali kesekolah, ingin memberi tahu Clea.
Aku mengayuh dengan kecepatan tinggi. Aku hampir saja terjatuh jika aku tak menjaga keseimbangan. Saat sampai di sekolah, sepedaku ku banting begitu saja. Pak Joko, satpam sekolah ku terkaget kaget “Ada apa neng? Hati hati” teriaknya. Aku berlari “Darurat bang” aku seger kekelas. Aku mendobrak pintu kelasku, kulihat Ririn masih berdiri didekat piano. Ia menoleh walau tak bisa melihat “Ririn!!! Ibu kamu sekarang ada dirumah sakit!!!” dan kemudian Ririn ambruk dalam pelukan bu Pia
***
Aku menatap gerimis kecil di pemakaman ini. Batu nisan bertuliska nama Ibuku sedikit basah terkena air hujan yang malu malu. Aku diam mencium aroma tanah basah, mencium aroma duka.
Aku pernah bilang bukan ingin tahu penyakit ibuku yang sekaran membawanya menuju kematian? Ibu terkena penyakit jantung dan asma yan bersamaan. Entah berasal dari pola makannya yang tak teratur atau dar beban beban yang di deritanya. Bermacam warna bunga berserakan d makan ibuku. Ya, aku bisa melihat.
Di hari ibu masuk rumah sakit, aku pingsan dan saat itu aku d operasi. Operasi pencangkokan mata dan mata itu dari ibu. Aku sempa protes ketika kurasakan nyeri di mataku dan perban membalut mata hingga dahiku “Ibu,, Ririn mau ketemu Ibu!!!!” aku meraung raung Kudengar suara bu Pia di sampingku, kurasa ia menggenggam tanganku “Tenang Rin, tenang!” bu Pia menenangkan ku. “Ibu saya manaaa?!!!! aku menggertak sambil meronta ingin melepaskan genggaman tangan b Pia. Aku mencoba turun dari tempat tidur tappi kepalaku saat pusin dan terasa amat nyeri. Aku kehilangan keseimbangan tapi bu Pia memelukku “Bu.. Ibu saya dimana bu? Beliau kenapa? Terus kenapa mat saya di perban?” aku menodong bu Pia dengan beberapa pertanyaa Terdengar suara laki laki yang amat berat “Tenang nak Ririn” katanya “Anda siapa?” tanyaku “Saya dokter” jawabnya “Mana ibu saya?” desakku. Ku dengar isakan bu Pia “Ibu kenapa? Mana ibu saya bu?” aku terus mendesaknya. Aku mulai cemas “Ibu kamu sudah
nggak ada Rin?”
“Maksud ibu? Ibu kemana?” tanyaku mulai panik dan mulai menghayalka yang tidak tidak. “Ibu kamu di panggil duluan,meninggal” bu Pia maki erat memelukku. Aku terdiam. Mendadak sinis tanpa air mata yan mengalir “Kenapa?” tanyaku. Bu Pia kaget dengan reaksi ku yang berubah drasti “Beliau terkena penyakit asma dan jantung yang sudah lama d deritanya. Kini penyakit itu kambuh dan merenggut nyawanya” jelas b Pia. “Dokter sudah berusaha sebisa mungkin namun dia tetap tidak bis menyelamatkan ibu mu” “Kamu tadi di operasi pencangkokan mata. Mat dari ibu kamu. Kita lagi di ahli mata. Ibu mu di kamar bawah” jelas b Pia. “Bawa saya ke beliau bu” jawab ku datar. Tak menangis sedikitpu namun hatiku terasa amat perih, seperti disayat beribu ribu kali.
***
Aku harus kontrol hasil pencangkokan ini selama sebulan. Dan saa perban sudah mulai di buka aku merasa deg degan. Bu Pia selal menggenggam tanganku, mencoba berbagi kehangatan. Clea melakukan ha yang sama. Awalnya terasa gelap dan nyeri. Lama lama aku melihat
cahaya dan... semua terang
Seorang laki laki paruh baya berbaju ala dokter berada di depa ku. Ku lihat seorang ibu muda menggenggam tanganku. Dan gadis sebay ku.
“Kamu Clea? Bu Pia?” aku bertanya. Mereka berdua mengangguk. “Akhirny kamu bisa melihat” kata Clea. Clea dan bu Pia memelukku, aku ta membalas pelukannya. Yang ku pikirkan adalah “Antar saya kemakam ib saya, bu”
Dan jadilah aku berada dimakam ibuku. Gerimis kecil sediki membuat ku sedikit kepayang. Aku menyentuh nisan itu untuk pertam kalinya. Merasakan kesepian untuk kedua kalinya. Aku menangis kecil meningat aku sudah tidak punya orangtua lagi. Tidak ada lagi yan menyiapkan ku sarapan walau hanya sepotong singkong rebus, tidak ad lagi celotehan tentang betapa lemah nya dirinya dalam bermain piano tidak ada lagi pujian tulus betapa hebat permainan piano ku, karen semua itu telah pergi. Di bawa pergi oleh ibu ku yang kini sudah
berada di dalam tanah sepi.
“Ibu apa kabar mu? Ririn kangen ibu” aku membisikan kata itu disel tangisku. Bu Pia mengelus rambut ku dan menyerahkan sepucuk surat. Ak membaca nya, ini tulisan ibu. Sehari sebelum beliau di panggil Sepertinya ia sudah mempunyai firasat.
21 November 2003
Ririn sayang, saat ini pasti kamu sedang membaca ini sendiri Tidak di bacakan orang lain Nak, fisik ibu sudah terlalu lemah menanggung derita. Walau demi kamu apapun kan ibu perjuangkan, tapi kini ibu sudah berada di punca kehidupan ibu. Ibu tidak pernah lelah sayang menopang hidupmu, namun
tenaga ibu yang sudah menyerah sekeras apapun ibu mengiba memint sedikit tenaga untuk beberapa tahun atau beberapa hari lagi. Namu keputusan Tuhan tak bisa ibu ubah.
Ibu berusaha menjadi penerang dalam kegelapan matamu, namun ibu ta bisa. Ibu hanya bisa menerangi hatimu seadanya tapi pada dasarny matamu lah yang gelap. Yang terus menatap kosong hitam dan legam d depanmu. Ibu selalu menjaga mata ibu dengan baik agar ibu bis menyerahkannya kepadamu disaat waktunya tiba.
Kini ibu rasa sudah saatnya ibu memberikan mata ini kepadamu Kepada putri kecil ibu yang amat mahir memainkan piano. Nak, teruslah
ingat ibu di setiap dentingan piano mu. Maaf jika ibu tidak bis membahagia kan mu, maaf jika ibu tak pernah membeli untuk ulangtahu mu atau menyediakan roti isi kesukaanmu setiap pagi.
Hanya mata ini yang ibu punya untukmu. Rawatlah mata ini sepert ibu merawatmu. Jagalah mata ini untuk ibu. Gunakan untuk hal yang
baik. Ini adalah hadiah terakhir ibu untukmu. Maaf jika ibu tak bis menemanimu lebih lama.
Terima kasih sayang sudah menemani hari sepi ibu. Kamu selalu ramaika jiwa ibu. Ibu sayang kamu nak. Selalu menyayangi kamu. Jangan lup sarapan ya. Jangan tinggalkan shalat ya. Ibu mencintaimu
Tertanda
Ibu
***
Tamat
Terima kasih ya untuk pembaca. Dan terima kasih jika ini di posting
^^v. Maaf jika masih ada kesalahan pengetikan atau cerita yang tidak
jelas alurnya.
Nama : Wilna Afrani
Kelas : 3 SMP
Tamat
Terima kasih ya untuk pembaca. Dan terima kasih jika ini di posting
^^v. Maaf jika masih ada kesalahan pengetikan atau cerita yang tidak
jelas alurnya.
Nama : Wilna Afrani
Kelas : 3 SMP