Brown Eye’s

Kali ini ada yang baru cerpen cinta Brown Eye’s dari Wilna Afrani silakan di baca ya :)



Aku berlari menuju gerbang yang hampir tertutup sepenuhnya kalau saja aku tidak tersungkur di tengah tenga antara gerbang dan jalan masuk. Ya aku jatuh, tersungkur. Dengan kepala yang mendahului menuju jalan yang berdebu. “Neng, hati hati neng kalau lari” Mang Tio, penjaga sekolah membantu ku berdiri. Aku membersihkan wajah, seragam dan rok abu abu ku yang terkena debu. “Ah gak bisa hati hati mang. Udah hampir telat” kataku sambil menyapukan tangan di rok abu abu ku “Neng mah aya aya wae, telat mulu. Emang malem nya ngapain aja sih neng?” “Ih mang Tio kepo” mang Tio menggeleng gelengkan kepalanya “Neng Gia mah aneh. Sekarang telat dua menit, kemarin satu menit, kemarinnya lagi...” aku memotong cepat perkataan mang Tio sebelum ia mengumbar semua aib tentang keterlambatan ku. “Yaaaah yaudah mang nuhun nyak pintu nya masih di buka. Dadaah mang” aku berlari menuju kelasku. Mang Tio hanya menggeleng gelengkan kepalanya dan menutup kembali gerbang yang separuh tertutup.

                                                                                                                                                                                                                                                                          ***

        “Evin liat PR!!” aku menaruh tas di bangku ku dan menyambar buku PR matematika Kelvin, sahabatku, yang berada di tangannya. Aku bergegas menyalin kata dan angka yang tertulis rapih dikertas itu. “Kalo lari hati hati non. Gue ngelihat lo jatuh di gerbang tadi” kata Kelvin, ia duduk di bangku kosong sebelahku. Aku hanya tertawa garing “Haha”. Kelvin membersihkan debu di kepala ku dan mengusap wajah ku dengan tissue “Hati hati ya lain kali” “He’eh” aku menanggapi nya dengan cuek. PR ku sudah selesai saat pak Togar memasuki kelas dengan setumpuk buku di tangannya. Ia menaruh buku buku itu di mejanya dan BRAK! Ia menaruh buku itu dengan berisik dan berteriak lantang “Anak anak!! Kumpulkan PR kalian, SEKARANG!” aku memperhatikan buku teman teman ku yang lain. Kok beda ya? Aku memperhatikan PR hasil contekan dan,,


“Ya Tuhan, inikan PR minggu lalu!!!” batinku. “Arggh bodoh! Habislah gue di hukum si Tomat Megar!!” aku meraung raung di dalam hati. “Anggia Cancerina, mana PR kamu!!!??” itu lebih terkesan seperti bentakan daripada omelan. Aku menaruh buku ku dengan hati hati. “Tunggu!” pak Togar membaca hasil contekan ku. Aku meringis “Butakan matanya, butakan matanya, butakan....”

“ANGGIA CANCERINA!!! BERDIRI KAMU DI KORIDOR SAMPAI BEL ISTIRAHAT BERBUNYI!”

“Habislah gue..” aku melangkah gontai menuju koridor, depan kelasku.

                                                               ***

        Setelah di omeli beberapa menit, pak Togar pun kembali kekantor dan guru pun berganti. Namun aku tetap tidak boleh masuk kelas. Huh! Menunggu sampai bel istirahat berbunyi seperti menunggu selama seminggu! Perasaan sudah beberapa guru berganti tapi kok nggak selesai

selesai yah?

        “Lo tau kantor dimana?” sebuah suara mengagetkan ku. Aku berbalik, di depan ku ada seorang gadis putih berhidung mancung, berwajah oriental dengan mata coklat nya. Di sebelahnya berdiri cowok yang mirip dengannya. “Hey! Kok bengong? Lo tau gak kantor dimana?” gadis itu

mengulang pertanyaan dengan wajah sedatar pertama kali ia berbicara. Aku menunjuk ke salah satu ruangan yang tak jauh dari kelas ku. Dia berkata “Thanks. Val, lo tunggu disini aja gue mau temuin Papi dulu. Dan lo Anggia, sepertinya kita sekelas” ia tersenyum sinis, sadis, dan

mistis. Kemudian ia membuang muka dan berjalan santai menuju kantor. “Sorry, Hellen emang belagu” cowok tadi akhirnya buka suara. Aku mengangguk “Gak apa apa. Kayaknya dia baik” aku tak tahu atas dasar apa aku mengatakan seseorang yang belum ku kenal dengan sebutan

‘baik’. Cowok tadi nyengir “Baik? Dia lebih galak dari pak Togar. Dia bisa aja ngoyak ngoyak daging lo kalau dia kesal. Atau dipipi chubby lo bisa di kasih codet tuh kayak inuyasa” jelas nya. Aku bergidik ngeri, sungguh tak mampu membayangkannya satupun. Cowok itu tertawa renyah “Haha jangan percaya. Hellen gak seancur itu kok. Gue iseng aja” kata dia, kemudian kembali berwajah datar.

        Dia mengulurkan tangannya kepada ku “Kenalin, gue Nauval Al Fathan. Yang tadi Hellena Az Zahra, kembaran gue” aku menyambutnya dan menyebutkan nama ku “Anggia Cancerina. Panggil aja Gia” kataku. “Gia ya...”

“Val masuk kelas yuk, kita sekelas sama dia” Hellen datang tiba tiba. Ia menunjukku dengan dagunya. Memang sedikit belagu ya. Nauval melepaskan jabatan tadi, Hellen pun merangkulnya mesra seperti sepasang kekasih. Mereka masuk kelas, kemudian Nauval membalikan badannya kepadaku “Lo gak masuk Gi?”

“Di hukum” jawab ku ringan. Ia menggenggam tanganku sebelum aku sempat berkata apa apa “Masuk yuk” dan itu terlihat oleh Kelvin yang menatapku hampa dan semu...

                                                                                                                                                                 ***

        Aku mencolek lengan Kelvin yang duduk di belakang ku “Ngebakso yuk Vin. Ia laper” Kelvin memasang wajah datar “Gak laper” “Tapi Ia laper Evin. Ayoo Vin. Kamu kenapa sih? Kamu marah karena apa?” aku setengah memaksanya. Kebiasaan ku jika keinginan ku tak di penuhi dan meminta penjelasan dari nya. “Lo punya kaki kan?! Bisa jalan sendiri kan?! Sendiri aja kenapa sih!!” Kelvin membentak ku, beberapa teman sekelasku memperhatikan kami. Termasuk Nauval yang di samping ku dan Hellen yang berada di samping Kelvin. Aku terperanjat, namun ekspresi itu tak bertahan lama. Ku pasang wajah datar dan sinis, wajah yang selalu ku perlihatkan jika ku kecewa dan terluka...

Dan aku tidak pernah memperlihatkan itu pada nya “Makasih udah ngebentak Ia!” aku berlalu meninggalkan Kelvin dengan raut wajahnya yang serba salah “Gia,,,” Kelvin memanggil ku lirih, namun semuanya terlambat.

                                                ***

Gue menyapukan pandangan kesetiap bangku dan meja di kantin yang terbuka ini. Mencari sesosok gadis berambut pendek yang selalu datang terlambat. Sudah seminggu lebih Gia mendiamkan gue. Awalnya gue sempat kesal, gara gara ia berpegangan tangan dengan Nauval. Murid baru dengan kembarannya Hellena, yang katanya adalah anak dari ketua yayasan. Gue gak tau apa yang merasuki gue sampai gue dengan kasarnya membentak Gia.

        Sungguh, gue gak bermaksud buat Gia terluka. Ada perasaan panas dihati gue saat melihat tangannya di genggam oleh Nauval. Perasaan yang gue sendiri gak tau apa. Mata gue mulai panas, mengingat gue udah ngebuat Gia terluka dan kecewa. Gue tau pandangan yang ia perlihatkan ke gue tadi. Gue tau pandangan itu!! Gue menyesal. Entah kenapa gue begitu takut kehilangan dia padahal ia hanya sahabat gue.

        Gue menemukan Gia! Dia berada di bangku paling pojok dengan jus jeruk kemasan di tangannya, sendirian. Gue lega dan bergegas menghampirinya. “Ia,,” gue memanggilnya dengan nama kesayangan yang gue kasih ke dia ‘Ia’. Dua kata simpel, sesimpel dirinya. Gia mendongak, dan kembali menunduk. Gue duduk di samping nya “Ia, gue minta maaf” kata gue, berusaha lembut walau yang gue dengar malah suara serak dan berat yang menakutkan. Ia merapatkan tubuhnya, seperti risih dan takut akan kehadiran gue. Gue semakin merasa bersalah. “Ia, maaf. Gue gak bermaksud ngebentak lo” dia tetap tidak memberi respon apa apa. Wajah nya menatap lurus tanpa ekspresi.

        “Ia..” gue kembali memanggilnya. “Plis Ia, gue minta maaf” walau wajah ku sudah kupasang sememelas mungkin, namun Gia tetap diam. Gue baru inget, gak gampang menarik hati nya. “Ia belum pernah ngerasa sesakit ini Evin...” akhirnya ia buka mulut, walau yang gue dengar malah makin menyakiti hati gue. Tak apa, asal dia merespon walau hanya tarikan nafas berat. “Ia, gue bener bener minta maaf”. “Gue gak bermaksud ngebentak lo. Gue...gue marah Nauval megang tangan lo...” gue harap Gia mengerti arah pembicaraan ini. “Kenapa?” tanya nya, masih dengan wajah datar. Gia tak mengerti “Gue cemburu...” “Kenapa?” Gia tetap tak mengerti. “Gue gak bisa kasih tau” gue terdiam. Bukan waktunya menyatakan cinta saat ini. Gia berdiri, “Ia!” gue berdiri. Menyamai postur tubuhnya walau gue tinggi beberapa senti darinya “Ia mau sendiri dulu Evin” Gue memegang tangannya. Peluh dingin mengucur deras, gue nggak biasa memegang tangannya. “Jangan pergi Ia. Gue minta maaf”. Ia melepas genggaman longgar gue dengan lembut, dia tersenyum “Iya Evin, Iamaafin kamu. Tapi Ia mau sendiri dulu, bisa?” gue membiarkannya pergi, hati gue lebur. Seiring langkahnya yang menjauhi gue.

                                                        ***

        Aku tidak bisa berkonsentrasi terhadap buku bacaan ku. Bahkan aku baca sampai mana pun aku juga tidak tahu. Hanya kata kata “Gue cemburu” nya Kelvin yang mengusik pikiran ku. Kelvin cemburu karena Nauval menggenggam tanganku? Tapi kenapa? Ada perasaan bahagia sebenarnya saat kata kata itu terucap dari bibirnya. Namun Kelvin tak mengucapkan alasannya membuatku ragu melanjutkan fantasi ku. Mungkin saja Kelvin cemburu sebagai sahabat?

Ya mungkin saja. Mungkin aku lah yang terlalu berharap. “Hey baca apa?” suara Nauval mengagetkanku. “Jujur aja, lo keliatan gak bernafsu banget buat baca buku itu” Nauval sudah duduk di depan ku. Aku memperhatikan wajahnya diam diam. Rambutnya hitam di panjangkan sedikit poni nya, alis matanya tebal, bibirnya merah, hidungnya mancung, dan mata itu... mata yang membuatku tak mau lepas menatapnya.

‘Tuhan! Perasaan apa ini?’ batinku. “Heh bengong lagi. Cepat cerita kenapa lo keliatan lesu” Nauval menodong pertanyaan. Aku diam “Gara gara tadi ya?” akhirnya ia menebak sendiri

“itu kamu tau” kata ku, dengan lesu. “Ia gak tau kenapa, selama ini Evin gak pernah sekasar itu sama Ia” aku memuntahkan segala perasaan yang ada di dalam hatiku.

“Evin yang Ia kenal itu baik, walau jutek tapi dia gak pernah ngebentak Ia sekasar itu” wajah ku mulai panas, dan butiran air mata mulai jatuh dari mataku. Nauval tetap mendengarkan ku, menungguku melanjutkan cerita. “Ia kaget. Ia gak tau Ia salah apa terus tiba tiba

Evin marah sama Ia..Ia...Ia takut Val” aku menunduk. Bahuku berguncang karena tangis. Nauval diam berapa lama, kemudian ia mengusap kepalaku, lembut sekali. Ia mengusap air mataku dengan tangannya “Ia sayang  Evin, tapi Evin gak pernah tau. Ia takut kehilangan Evin,, tapi,,tapi Ia gak bisa kalau begini” aku tersendat. Tak sempat kubaca wajah pucat Nauval, namun ia tersenyum dan berkata “Ada aku disini,Gia”

                                                        ***

        Perih!! Gue mencari ‘Ia’ gue. Gue menelusuri koridor, setidaknya gue bisa menemani nya walau tanpa dia sadar. Gue menemukan Gia dengan buku tebal di hadapannya, di perpustakaan. Gue mengintip baru akan menghampirinya, namun seorang cowok sudah duduk persis di hadapan Gia.

Di perpustakaan yang hanya ada mereka berdua membuat gue mendengar sayup sayup percakapaannya. Dan Gia menangis. Gue akan menghampirinya saat gue melihat cowok itu, Nauval menghapus air mata Gia. Gue gak melanjutkan melihat adegan itu karena hati gue sudah cukup sakit di buatnya, hingga gue nggak tau apa yang mereka bicarakan dan mereka lakukan. Saat gue berbalik sudah ada Hellena di hadapanku. “Ikut gue ke taman. Gue mau ngomong sesuatu sama lo” gue mengekornya. Pikiran ku kacau, dan terbakar bersamaan dengan jatuhnya air mata Gia.

        “Ngomong apa Hellen?” gue duduk di bangku taman, mengikuti Hellena yang berada di samping gue. “Kembaran gue kayaknya tertarik sama Gia lo” Hellen langsung to the point, tanpa basa basi. Gue menunduk, tak ingin bercerita. Hellena kembali bicara “Gue tau Gia anak baik. Pertama kali ketemu gue udah nangkap ketertarikan dari Nauval ke Gia, makanya mereka gue biarkan sendiri” “Pas gue tau ada lo, gue jadi mikir dua kali untuk nyerahin Gia ke Nauval”

“....”

“Tapi Nauval sayang sama Gia. Cuma Gia yang mampu begitu cepat ngerebut hati Nauval dari sekian banyak cewek yang ngejer ngejer dia” Hellena menjelaskannya tanpa pedulikan raut wajah gue yang makin masam. “Gue juga tau lo sayang banget sama dia. Tapi gue udah janji akan bantuin Nauval untuk mendekati Gia”. Gue menatap tajam kearahnya, kearah Hellena yang mentapa gue dengan tajam pula “Lo gila Len? Gue sayang sama dia. Gue... gue.. gue gak rela Len” jawab gue. Hellena diam, tak melepaskan pandangannya dari gue. Dia berani.

        “Nauval lebih bisa menjaga Gia di bandingkan lo yang membuatnya kecewa” lanjut Hellena. Hati gue makin hancur. “Gia sayang sama lo, Vin. Dan lo sia siakan perasaan dia. Gue dengar percakapan mereka yang terakhir. Tapi Gia udah gak bisa walau lo memintanya” “Cukup sulit untuk mendapatkan Gia. Saat lo udah dapat lo malah menyianyiakannya” lanjut Hellena tanpa emosi. Gue mendengus “Lo ngomong gini karena Nauval suka kan sama dia? Kalo Nauval biasa aja lo juga gak akan seheboh ini” kecam gue tanpa ekspresi. Gue dan Hellen seperti lomba wajah paling datar karena gak ada satupun yang tersenyum, marah atau sedih. Hellena menatap gue dengan amat sinis “Gue berusaha mencari siapapun yang bisa membuat kakak gue tersenyum, dari awal gue tau Gia lah yang terbaik untuk dia” “Tanpa memikirkan perasaan orang yang sayang banget sama Gia?” Hellena terdiam “Lo gak ngerti. Kakak gue gak pernah bahagia sejak nyokap gue di culik dan di bunuh dengan keadaan yang mengenaskan. Nyokap gue di bunuh sama mantan pembantu keluarga gue..” Hellena diam, kini wajahnya mulai berekspresi. Sedih..

“Waktu itu hujan, mobil yang di bawa Nauval dan bokap gue mogok di tengah jalan sedangkan tujuan tempat nyokap gue di culik masih jauh. Gue Cuma bisa nangis, Nauval gendong gue dan berlari menerobos hujan.

Hampir berpuluh puluh kilometer Nauval berlari membawa uang tebusan sambil menggendong gue yang gak bisa berhenti menangis. Di tengah jalan, mantan pembantu gue menodong Nauval, Nauval menyerahkan uang tebusan dan melanjutkan pelariannya. Gue di dudukan di depan pintu saat sampai. Tercium bau anyir darah segar dari dalam. Dan saat Nauval melihat nya, ternyata itu nyokap gue dengan badan terpisah pisah, beberapa luka memar dan bakar, dan beberapa luka tusukan. Gue gak pernah tau kayak gimana bentuk nyokap gue saat itu karena Nauval menutup mata gue dan memeluk gue berbagi kehangatan walau sebenarnya gue tahu dia menangis dalam diam. Gue Cuma bisa nanya ‘Mami kenapa Val?’ Cuma pertanyaan itu yang berulang ulang terucap dari mulut gue. Tapi Nauval Cuma mencium kening gue berulang ulang tanpa menjawabnya”

        Hellena terdiam, terlihat sekali ia berusaha tegar “Len, gausah di lanjut...” namun ia tetap melanjutkan.

        “Gue gak berhenti nangis. Di pemakaman pun gue tertidur sampai Nauval membopong gue kekamar. Gue bisa ngerasain dia ngelap wajah gue, ia usap rambut gue dan ia menangis. Nauval nggak pernah mau nangis dan sekarang dia nangis. Gue gak bangun. Gue pura pura terlelap, menemani dia dalam ketidaktahuannya. Dia cium mata gue, kening gue dan ia membisikan kata kata yang gak pernah gue lupa...” Hellena menarik nafas dan melanjutkannya lagi. “Cuma kamu yang kakak punya, Hellenaadik kakak tersayang. Bermanjalah pada kakak, menangislah di pelukan kakak sayang. Maaf kakak gak bisa jaga mami kita, maaf kakak membuat mami pergi, kakak gak mau kamu liat kondisi mami karena kakak tau kamu bakal syok...”

“Kakak turutin mau kamu apapun sayang, walau kakak hanya tua beberapa jam dari kamu, tapi kamu tetap adik kecil kakak. You’re still my baby girl, honey. Cuma kamu yang kakak punya” Hellena mengusap air mata di ujung matanya yang coklat. Gue terhenyak. Di balik keangkuhannya, ia ternyata menyimapn cerita yang kelam. “Nauval tumbuh menjadi amat sangat drastis. Awalnya ia orang yang ramah dan ceria, sekarang  hanya bisa tersenyum saat gue ngambek. Gak ada yang bisa membuat ia tersenyum selain gue dan... Gia. Makanya pas tau gitu gue semangat Gia bersama Nauval” Gue mencerna kata katanya. Gue akan ikhlasin Gia untuk Nauval. Ya....

        “Sekarang Nauval butuh Gia, Vin. Cuma Ia lo yang bisa bikin Nauval semangat lagi. Plis jangan hancurin kebahagiaan Nauval yang ini Vin” gue tersenyum “Gue ikhlas Len. Asal mereka bahagia” Hellena tersenyum

“Are you sure?”
“Ya. Nauval dan Gia akan bahagia. Kita pun juga begitu” gue menatap Hellena yang bersemu merah, mengerti maksud gue.

                                                        ***

        Nauval menggamit lengan ku menuju taman. Ku lihat Hellena dan Kelvin disana “Hel, Vin?” mereka berdua menatap ku. Dan tersenyum. Aku mengerti senyum itu. Senyum yang baru saja akan kubagikan kepada mereka. Senyum yang awalnya berasal dari sebuah ketidakrelaan dan menjadi senyum manis yang amat indah. Senyum yang sekarang menyimpan sebuah cerita indah yang siap di bagikan kepada siapapun yang melihat dan ingin mendengarkannya bercerita...