Bersamamu Aku Melupakannya

Kali ini ada cerpen yang sagat menarik untuk di simak dan di bacadengan judul yang menarik pula yaitu bersamamu aku melupakannya, dari pada penasarand dengan cerpen ini, silakan di baca dari pada penasaran



Bersamamu Aku Melupakannya
Oleh: Mintam Karunia
Masih terlalu sulit bagiku untuk benar-benar beranjak meninggalkan tempatku saat ini. Oh, aku hanya ingin sekedar memastikan bahwa segala harapanku selama ini tak akan pernah menjadi nyata. Ia tak akan pernah sedikitpun melihatku ataupun mencoba mengerti apa yang selama ini kurasakan, dan ia tak akan mau tahu seberapa besar aku ingin bersamanya.
sekali lagi mataku masih terpaku memandangi pahitnya kenyataan. Masih meresapi sakitnya hati saat melihat ia tersenyum bahagia bersama pilihannya. Masih ingin memastikan bagaimana guratan senyum itu selalu menghiasi bibirnya, dan wajah yang berseri itu hanya dipersembahkan untuk kekasihnya. Bukan aku! Ya, itu semua bukan untukku, sekali lagi percayalah... yang kulihat ini membuktikan bahwa segala air mata, cinta dan perasaan yang kupunya tak akan ada gunanya.
Dengan sesegera mungkin kupalingkan pandanganku dari mereka ketika sesak itu kian menyiksa jiwa. Sudahlah... buat apa menangis lagi hanya karena dia. Bukankah aku juga berhak tersenyum dan bahagia seperti mereka? Namun harus dari mana aku memulai jika sebagian rasaku telah mati karenanya, dan harus dari mana lagi aku melangkah jika setiap sudut yang kulewati masih terukir jejaknya.
“Ehhemm... huh bengong lagi nih!” Aku sedikit terkejut ketika Revan datang dengan tiba-tiba, bak sebuah meteor yang jatuh tepat di depanku.
“Apasih... hobi banget ngagetin orang!” Gertakku sedikit kesal dengannya. Untung saja aku tak punya penyakit kronis sejenis penyakit jantung.
 “Biarin, dari pada hobi bengong, mending hobi ngagetin orang! hahaha...” Oh kukira itu semua sama sekali tak ada yang lucu. Menyebalkan! Karena kesal, aku meninggalkannya menuju tempat duduk yang tak jauh darinya. Dan tak lama kemudian dia mengikutiku dengan wajah super konyolnya yang makin menjengkelkan.
 “Aku suka melihatmu marah dari pada melihatmu sedih.” Aku menoleh, tepat menatap kedua pasang matanya ketika kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Emm.. bukan kalimat romantis, hanya menarik saja untuk di dengar.
Seperkian detik kemudian aku menunduk menyembunyikan wajahku. Sejujurnya saat-saat seperti ini sangat membuatku malu. Tiap kali ia menemuiku, aku selalu dalam keadaan menyedihkan. Meratapi kepergian seseorang yang jelas-jelas tak akan mungkin lagi dapat memilihku.
“Sudahlah An... terkadang kita harus melepaskan seseorang, bukan karena kita tak sayang, tapi karena ada sesuatu hal yang memang tak bisa dipaksakan.” Revan memang selalu bisa menenangkanku tiap kali aku bersedih. Ia juga tak jemu menasehatiku meskipun hari berikutnya aku selalu mengulangi kesalahanku yang sama. Oh apakah sahabat memang selalu memiliki perhatian yang lebih?
“Percuma saja kamu menasehatiku. Aku tak akan mendengarkannya, karena aku masih kesal dengan ejekanmu tadi.” Jelas saja aku hanya berbohong. Itu semua hanya untuk mengalihkan pembicaraan, tak mungkin aku terus-menerus membiarkannya ikut campur dalam masalahku.
“Kurasa membuatmu kesal akan menjadi hobi baruku di minggu ini.” Mataku melotot tajam mendengar celetuknya.
“Apa! Kenapa kamu menyebalkan sekali Rev!” Aku meledak sambil berpura-pura memukuli lengan kokohnya.
“Oh... oke-oke... stop... ku menyerah.” Dia mulai menghentikanku dengan memegang kedua tanganku lantas menggenggamnya erat sambil menggeser sedikit badannya. Sekarang kami tepat saling berhadapan. Oh Tuhan... apakah aku benar-benar akan terkena serangan jantung? Detakan ini makin mengencang dan diiringi rasa gugup saat mata Revan kembali menatapku dengan lembut.
“Percayalah Ana, aku tak ingin kamu terus-terusan berharap Randi mencintaimu. Kumohon akhirilah, dia sudah bahagia bersama Tania, dan saatnya kamu juga bahagia. Masih banyak di luar sana yang pantas memiliki hatimu dan mau menjaganya sepenuh hati.” Aku bergetar ketika melihat keseriusannya untuk meyakinkanku. Randi memang bukan yang terbaik Rev, tapi akan lebih baik jika pada akhirnya nanti ia dapat melihat seberapa besar aku mengharapkannya. Kataku dalam hati. Bukankah lebih baik jika Revan tak akan mengerti isi hatiku yang sebenarnya?
“Memangnya masih ada yang dapat membuatku bahagia?” Jika pada kenyataannya aku belum bisa menerima kebahagiaan dari yang lain. Lanjutku dalam benakku.
“Aku janji akan membuatmu bahagia. Jujur, aku mulai menyukaimu sejak kita menjadi sahabat An.”  Deg... apa? Detakan jantungku kian berpacu dengan cepat. Sungguh, setelah ini aku harus segera memeriksakan kondisiku ke Dokter spesialis jantung.
 “A-apa?... Ah k-kamu bercandakan?”
“Ini bukan saat yang tepat untuk bercanda An. Aku... sayang padamu. Aku ingin kamu melupakan Randi, dan membuka harapan-harapan baru yang lebih indah.”  Aku terdiam sambil mencoba meyakinkan diri bahwa ini bukanlah mimpi. Revan, sahabatku yang begitu baik, perhatian, dan menyenangkan, menyukaiku? Atau tepatnya mencintaiku? Ya Tuhan...
‘Maaf kalau ini mengejutkanmu. Tapi sungguh aku suka padamu An. Aku tak pernah rela perempuan yang kucintai terus bersedih memikirkan orang yang tak pernah peduli. Aku mungkin belum bisa menggantikannya, tapi aku berharap suatu hari nanti kamu dapat menghapusnya dari kehidupanmu.” Ini memang belum akhir, bisa saja di kemudian hari Randi datang dan menyambut cintaku. Namun salahkah aku berfikir untuk melupakannya sekarang, sebelum kemungkinan lainpun dapat terjadi di hari depan. Ya, Revan benar! Mungkin pilihanku belum dapat dikatakan baik, tapi aku berharap nanti dapat menjadi yang terbaik. Bukankah cinta juga dapat datang karena terbiasa. Dan mulai membiasakan mencintai Revan adalah pilihan itu.
“Rev, a-aku... janji akan belajar untuk melupakannya.” Kulihat ulasan senyum indah itu mulai terukir di bibirnya. Pancaran mata itu mulai bersinar menyejukkan hati. Aku tahu sebagian pancaran itu sebenarnya menuntut jawaban lebih dariku. Tapi maaf, aku masih perlu waktu untuk memikirkannya lagi. Kurasa Revan akan akan mengerti.
Kini aku membalas senyum padanya, lalu dengan gerakan pelan kusandarkan kepalaku tepat di bahu kanannya. Sambil memandangi taman sekolah SMA kami, Revan meluncurkan lelucon hebohnya yang membuatku tertawa. Oh iya, kurasa aku tak jadi pergi ke dokter spesialis jantung!