5 Tahun Berlalu

Kali ini mimin kasi sebuah cerpen cinta merupakan dari sahabat kita Inggrid Claudine dari pada penasarand dengan kisah cerpen yang satu ini, silakan di baca jangan lupa di share





5 Tahun Berlalu
“Aku bukan orang yang tepat untuk berada di sisimu.” Aku kembali menghela napas sambil menghapus linangan air mata yang telah membasahi pipiku. Dunia ini terasa sepi, tak ada yang terdengar kecuali suara isak tangis. Perasaanku menjadi tidak karuan. Aku tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini pada Ditya. Aku terus menangis sambil menatap tempat peristirahatan Ditya yang terakhir. “Maaf, hanya ini yang dapat aku katakan. Aku tak tahu harus berkata apa padamu setelah kejadian 5 tahun lalu, kejadian... kejadian yang.... ahhh...” Pikiranku kembali memutar kejadian 5 tahun yang lalu...
**
5 tahun lalu..
“Happy birthday Vio,, happy birthday Vio.. happy birthday, happy birthday,, happy birthday Vio.” Sambil menatapku, Ditya menyanyikan lagu itu khusus untukku dengan hati yang tulus.
“Kenapa menangis,, kamu nggak senang...?” tanya Ditya padaku sambil menghapus air mataku yang telah mengalir. Ternyata aku telah mengeluarkan air mata saking terharunya. Karena baru kali ini aku mendengar seorang laki-laki yang aku sayangi menyanyikan sebuah lagu untukku di hari ini, dimana usiaku genap 17 tahun. Ya, Sweet Seventeen.
“Nggak, Dit. Aku bahagia. Sangat bahagia.”
Ditya kemudian mengeluarkan sebuah kotak hadiah kecil berwarna merah dan diikat pita biru. Dengan perlahan aku membuka kotak itu. Sebuah kalung berbentuk hati terpajang indah di dalam kotak itu. Aku menatap mata Ditya, dan Ditya pun menatapku penuh ketulusan. Ditya lalu memasang kalung itu pada leherku.
“Gimana..? Kamu suka?” tanya Ditya setelah ia memasang kalung itu.
“Aku suka banget, Dit. Thank’s ya.”
Ditya lalu berlutut di hadapanku dan menggemggam kedua tanganku. “Vio, aku akan selalu ada di sisimu, aku akan selalu melindungimu, akan selalu menjagamu dan aku akan selalu menyayangimu. Aku berjanji.”
Untuk kedua kalinya di malam itu, aku mengeluarkan air mata bahagia. Aku sama sekali nggak nyangka akan ada seseorang yang berlutut dan berjanji di hadapanku. Ini benar-benar hari yang paling speciall dalam hidupku. Suasana kafe yang kami tempati semakin romantis dengan alunan musik dan cahaya lampu yang remang.
**
Hari pertama dimana aku memulai kehidupanku di usiaku yang sudah cukup dewasa.
“Bunda, ntar aku agak telat pulang sekolah, ya. Soalnya aku ada janji sama Ditya.” kataku pada Bunda saat sedang sarapan.
“Iya, sayang. Tapi jangan pulang terlalu malam. Nggak baik kalau anak gadis pulang larut malam.”
“ Oke deh, Bunda.”
“Hmmmm,” Bunda berdehem pelan, lalu melanjutkan, “Sayang, sekarang usiamu sudah 17 tahun. Kamu sudah cukup dewasa untuk tahu semuanya.”
“Tahu tentang apa, Bun?” tanyaku penasaran.
“Tapi kamu harus janji, kalau kamu tidak akan marah pada Bunda terlebih Alm. Ayah kamu.”
“Iya, Bunda. Aku janji.” jawabku sambil mengangkat dua jari di samping wajahku.
Bunda mulai bercerita. “Dulu, ketika kamu masih berada dalam kandungan, Bunda mengalami penderitaan yang cukup berat untuk ditanggung seorang wanita. Ayah kamu ternyata telah menghamili wanita lain yang saat itu ia juga sedang mengandung darah daging ayah kamu. Saat itu rasanya Bunda ingin mati, tapi Bunda masih ingin melihatmu untuk hidup. Oleh karena itu, Bunda tetap bertahan hidup demi kamu. Tapi Bunda juga bangga dengan wanita yang mengandung anak ayah itu, karena ia tidak pernah mengeluh meskipun ia juga harus mengandung seorang anak tanpa adanya ayah kamu disisinya.”
“Lalu, wanita itu dan anaknya sekarang berada di mana?” tanyaku sambil terus memandang mata Bunda yang sudah basah.
“Wanita itu telah meninggal karena penyakit kanker paru-paru saat anaknya berusia 5 tahun. Dan setahu ibu, anaknya yang bernama Gio dirawat dan dibesarkan oleh keluarga mereka di luar daerah.”
Aku kemudian menangis melihat Bunda yang juga sedang menangis. Aku nggak nyangka kalau Ayah meninggalkan kami dengan penderitaan yang cukup berat bagi Bunda. “Bunda tahu nggak dimana anak ayah itu berada sekarang?”
“Bunda nggak tahu lagi, sayang.” kata Bunda sambil membelai rambutku.
Aku merasa kasihan dengan Bunda, tapi juga merasa salut atas perjuangan Bunda selama ini. Ternyata di usiaku yang ke-17 tahun ini, aku malah mendapat sesuatu yang membuat perasaanku tidak tenang, bahkan napasku seakan tercekat. Hingga aku tak tahu apa yang harus aku perbuat. Dalam hati aku berjanji bahwa aku akan berusaha mencari tahu keberadaan Gio sekarang, sesulit apapun itu, aku akan terus mencarinya, demi Bunda dan demi Alm. Ayah.
**
“Kamu sabar ya, Vi. Aku yakin Bunda kamu orang yang tegar yang bisa menghadapi semuanya. Dan kamu juga harus selalu menjaga Bunda, agar Bunda nggak merasa kesepian.” kata Ditya siang itu sepulang sekolah setelah aku menceritakan semua yang terjadi pada Bunda saat aku belum lahir. Ya, memang nggak semuanya yang aku cerita, karena aku masih merahasiakan nama Gio pada Ditya. Aku nggak mau kalau Ditya tahu semuanya, karena ia pasti akan membantuku untuk mencari keberadaan Gio, padahal aku nggak mau ngerepotin dia dan aku mau mencarinya sendiri.
“Iya, thank’s ya, Dit.”
“Kamu juga harus janji sama aku sekarang, kalau kamu akan selalu tersenyum, dan nggak bakalan nangis di hadapanku di saat kamu lagi ada masalah, seberat apa pun itu. Karena aku tahu, kalau kamu adalah gadis yang tegar dan aku nggak suka ngeliat kamu sedih apalagi sampai mengeluarkan air mata.”
“Iya, Dit. Aku janji sama kamu. Aku nggak bakalan nangis lagi di hadapan kamu.” kataku sambil tersenyum pada Ditya. Ini yang aku suka dari Ditya. Ia selalu ngedukung aku kapan pun aku membutuhkannya. Meskipun kali ini aku telah membohonginya.
“Btw, kamu udah minta izin sama Bunda kamu kan untuk jalan sama aku sekarang?” tanya Ditya padaku.
“Udah, kamu tenang aja. Bunda ngijinin aku kok, asalkan nggak pulang larut malam.”
“Oke deh.” Sambung Ditya sambil mengedipkan sebelah matanya. Selama bersama Ditya siang itu, aku merasa nggak nyaman, karena aku udah merahasiakan sesuatu darinya, tapi apa boleh buat. Ditya nggak boleh tahu tentang ini.
Keesokan harinya....
Hari pertama pencarianku pun dimulai. Pertama-tama aku bertanya pada tetangga-tetangga Gio di luar daerah. Ada dari mereka yang tidak tahu-menahu tentang Gio, tapi ada juga yang tahu persis bagaimana Gio selama ini. Mereka mengatakan bahwa dari kecil Gio dikenal sebagai anak yang pendiam dan jarang bergaul dengan teman-teman sebayanya. Dan yang membuat aku paling kaget, ternyata Gio sekarang bersekolah di SMA Permata Kasih. Ya, selama ini aku bersekolah di sekolah yang sama dengan Gio. Aku semakin semangat untuk mencarinya. “Dunia ini memang sempit dan penuh misteri.” pikirku saat itu.
“Agh, hari ini berjalan dengan lancar. Tuhan, bantu aku menyelesaikan semuanya.” kataku saat aku tiba di rumah. Dalam hati aku berpikir bahwa aku pasti bisa mengetahui orang yang bernama Gio itu, cepat atau lambat. Namun, mencari orang yang belum pernah dilihat sama sekali tidak mudah, bagai mencari jarum di tumpukan jerami.
“Bunda, kalau aku berhasil menemukan Gio, Bunda nggak marah kan kalau Gio bisa tinggal serumah dengan kita?” tanyaku pada Bunda saat makan malam.
“Nggak jadi masalah kok, sayang. Asalkan dia mau.”
“Oke deh, Bun.” kataku sambil mengedipkan sebelah mataku pada Bunda dan melanjutkan makanku. Aku jadi nggak sabar pengen tahu bagaimana wajah Gio, saudaraku itu. Mudah-mudahan aja di mau tinggal serumah dengan kami.
**
“Pak, tolong dong. Cari lagi. Mungkin tadi Bapak nggak liat atau ada yang terlewat. Ayo dong, Pak. Bantu saya.”
“Maaf, Vio. Bapak sudah mencarinya dengan teliti dan di sini tidak ada siswa yang nama panggilannya Gio.”
“Aduh, pasti ada yang terlewat, Pak. Please, bantu saya, Pak.” kataku memohon sambil meletakkan kedua tanganku di depan dagu dan menutup mata pada Pak Alex, yang bekerja di bagian tata usaha. Setelah susah payah membujuk Pak Alex, akhirnya Pak Alex mau mencari lagi tapi dengan syarat aku harus menunggu hasilnya setelah pulang sekolah nanti. Bagiku itu tak jadi masalah, asalkan aku bisa mengetahui dimana kelas Gio.
Sepulang sekolah, aku langsung menuju ke ruangan Pak Alex. Namun di jalan, aku bertemu dengan Ditya.
“Kamu mau ke mana, Vi?” tanyanya padaku.
“Mmmm,,, aku.. aku mau ke ruangan Pak Alex. Ada urusan penting yang mau aku selesaiin.”
“Kalau begitu, aku temenin kamu ya.”
“Nggak usah, Dit. Kamu pulang duluan aja. Soalnya... mm.. soalnya Bunda ada di ruangan Pak Alex juga, dan ntar aku sekalian pulang sama Bunda. Nggak apa-apa kan kalau kamu pulang duluan?” jawabku untuk mencegah Ditya yang ingin ikut ke ruangan Pak Alex.
“Ya, sudah. Salam sama Bunda kamu. Hati-hati, ya.” kata Ditya sambil mencium keningku.
“Iya, kamu juga hati-hati di jalan. Jangan ngebut-ngebut kalau bawa mobil.” kataku memperingatkan Ditya. Ia pun segera menuju ke tempat parkir, dan sambil menatapnya berjalan, aku merasa sangat bersalah karena telah membohonginya. Baru kali ini aku membohongi Ditya. “Maafin aku, Dit.” bisikku pelan.
Aku kemudian lanjut berjalan ke ruangan Pak Alex. Di sana Pak Alex sudah duduk di atas kursi dengan berbagai data siswa yang berserakan di meja. Pak Alex lalu menggelengkan kepalanya. Aku menjadi lesuh, kakiku seakan tak kuat lagi untuk berjalan mendekati Pak Alex.
“Maaf, Vio. Bapak sudah berusaha mencarinya, namun di sini memang tidak ada siswa yang nama panggilannya Gio.” kata-kata Pak Alex terasa berat untuk aku terima. Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Apa kali ini aku harus meminta bantuan Ditya? Agh, tidak... Aku nggak mau ngerepotin Ditya, tapi aku harus berbuat apa lagi sekarang? Kali ini sepertinya aku akan menyerah, aku akan meminta bantuan Ditya. Semoga aja dia bisa membantu. Pikirku saat itu.
“Dit, kamu ada waktu nggak sekarang? Aku pengen bicara sama kamu sebentar.” kataku pada Ditya di telepon.
“Iya, aku ada waktu kok. Kalau gitu kita mau bicara dimana? Atau sekalian aku jemput kamu.” jawab Ditya sambil nawarin buat ngejemput aku.
“Nggak usah, aku bisa jalan sendiri. Kita ketemu di restoran yang biasa kita tempati. Oke.”
“Oke, kamu hati-hati di jalan, ya.” kata Ditya mengakhiri telepon. Aku kemudian langsung menuju restoran dengan menggunakan taxi. Dalam perjalanan, aku bingung mesti ngomong apa sama Ditya nanti. Aku takut Ditya bakalan marah soalnya aku nggak bilang dari awal. Aghh,,, harus ngomong apa?
“Dek, udah sampai di depan restoran.” kata supir taxi membuyarkan pikiranku.
“Ohh, iya.” kataku sambil memberikan uang pada supir taxi. Aku lalu keluar dari taxi dan masuk ke dalam restoran yang bernuansa Korea dengan makanan khas Korea juga. Ternyata di dalam sudah ada Ditya yang menungguku. Entah sudah berapa lama ia ada di sana. Ditya yang duduk membelakangi pintu masuk, sama sekali tidak meyadari kehadiranku.
“Sudah nunggu lama?” tanyaku padanya sambil menarik sebuah kursi dan duduk di hadapannya.
“Nggak begitu lama, kok. Kamu mau pesan apa?”
“Terserah kamu aja.”
“Ya udah.” katanya lalu memanggil seorang pelayan dan memesan sebuah sup kimchi. (Kimchi adalah acar khas Korea, terbuat dari sawi putih yang dipedaskan). Ya, Ditya benar-benar tahu makanan kesukaanku.
“Katanya kamu mau cerita sesuatu. Mau cerita apa?” tanya Ditya setelah pelayan itu pergi dari meja kami.
“Ooo... Sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu. Soalnya, aku baru bisa cerita ke kamu sekarang.” Aku berhenti berkata-kata sambil terus memandang mata Ditya yang sepertinya penuh harap menunggu ceritaku selanjutnya. “Kamu masih ingat tentang cerita aku waktu itu mengenai Ayah aku yang ternyata pernah menghamili wanita lain, kan?”
“Iya, aku nggak lupa kok. Memangnya kenapa?” tanya Ditya. Aku baru akan membuka mulut, namun tidak jadi karena pesanan sup kimchi sudah ada di depan kami. Setelah pelayan yang membawa pesanan pergi, aku kemudian melanjutkan. “Anak Alm. Ayah dari wanita itu ternyata juga bersekolah di SMA Permata Kasih, sama dengan kita.”
“Woow, itu malah bagus. Berarti kamu bisa dengan mudah mencarinya.”
“Tapi, aku sudah mencari namanya di berkas-berkas Pak Alex dan aku nggak nemuin nama dia. Pak Alex bahkan udah nyerah untuk nyari namanya. Karena itu, aku.... aku...”
“Vio, sebelum kamu mengatakannya, aku udah tahu. Aku pasti bakalan bantu kamu untuk nyari saudara kamu itu. Kamu tenang aja, ya.” kata Ditya sambil menggenggam tanganku. Aku merasa bangga mempunyai seorang pacar seperti Ditya. Ia benar-benar penuh perhatian dan kasih sayang, dan juga selalu ada buatku.
“Oh, ya. Nama saudara kamu itu siapa dan kamu dapat info-info tentang dia dimana?”
“Namanya Gio. Aku tahu infonya dari tetangga-tetangga Gio di luar daerah. Kata mereka Gio anak yang pendiam dan jarang bergaul. Semenjak ibunya meninggal, ia tinggal bersama keluarganya. Alm. Ibunya bernama Srianingsih. Ia meninggal saat Gio berusia 5 tahun karena penyakit kanker paru-paru yang ia derita. Kamu mau kan bantuin aku?”
“Iya...... Iya, aku.. aku bakalan bantu kamu nyari..... Gio.” Jawab Ditya terbata-bata. “Vi, maaf ya. Aku nggak bisa nemenin kamu lama-lama. Aku harus.... harus pergi sekarang.” Ditya lalu beranjak dari kursi, kemudian mencium keningku, lalu berlalu begitu saja meninggalkanku. Aku menatap Ditya dengan bengong hingga ia menghilang di balik pintu restoran.
***
“Vio... Vio... bangun sayang. Udah siang. Ntar kamu telat ke sekolah sayang.” Seru Bunda sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarku.
“Iya, Bunda.” kataku sambil turun dari tempat tidur. Setelah mandi dan berpakaian seragam, aku lalu menuju ruang makan untuk sarapan bersama Bunda.
“Vio, apa kamu sayang sama Ditya?” tanya Bunda padaku.
“Bunda.... Aku sayang sama Ditya. Sangat sayang. Kok, Bunda nanya itu, sih?”
“Bunda tahu kalau kamu sayang sama Ditya. Tuhan pun juga sayang sama Ditya.”
“Bunda ngomong apa sih? Aku nggak ngerti.”
“Sayang, kemarin tante Ditya menelfon Bunda. Katanya... kemarin Ditya mengalami kecelakaan dan langsung meninggal di tempat kejadian. Dan satu yang harus kamu tahu, ternyata Ditya adalah.... Gio, saudara kamu.” Aku diam membisu mendengar cerita Bunda. Air mataku mulai mengalir. Aku tidak menyangka akan semua kenyataan hidup ini. Begitu pahit dan sakit.... sakit rasanya untuk ditanggung.
“Ditya, kenapa kamu harus pergi secepat ini? Aku sayang sama kamu, meskipun kita adalah saudara. Aku menyesal... sangat menyesal....” dengan linangan air mata, aku menyaksikan Ditya yang dikubur dalam liang tanah. Semua sudah berakhir, penuh dengan linangan air mata dan penyesalan.
Ternyata semenjak ibunya meninggal Gio Arditya Andreas mengganti namanya.
Ia menggantinya karena nama Gio adalah pemberian dari Alm. Ayahnya dan nama itu hampir mirip dengan nama Vio, anak ayahnya yang lain.
Namanya kini menjadi Arditya Andreas yang akrab disapa Ditya.
**
Lima tahun kematian Ditya telah berlalu, namun penyesalan itu masih ada dan masih membekas di hatiku hingga sekarang.
Aku terus menangis di tempat peristirahatan Ditya yang terakhir. Aku masih sulit untuk mengingat semua kenyataan yang telah terjadi. Sakit..... sakit rasanya....
“Ditya, aku tahu kalau aku telah melanggar janjiku untuk tidak menangis di hadapanmu dalam menghadapi masalah. Tapi, ijinkan aku menangis kali ini saja. Hhmm, ijinkan aku, Dit.....”
Sambil menangis aku mulai menyesal... “Seandainya waktu itu aku tidak mengatakannya padamu. Seandainya aku tidak pernah tahu tentang Gio. Seandainya aku bisa memutar waktu, aku tidak akan melakukan kesalahan besar seperti ini. Semoga kamu bisa tenang di alam sana.” kataku setelah puas menangis di tempat peristirahatan Ditya. “Aku sayang kamu, Ditya, saudaraku.”
Aku lalu melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu. Dan menuju ke sebuah mobil yang telah menungguku sedari tadi. Ya, itu adalah mobil Fabian, pacarku semenjak satu tahun yang lalu. Ia yang sudah membantuku untuk bisa bangkit dari keterpurukan setelah kematian Ditya 5 tahun lalu dan ia adalah pacar pengganti Ditya di hatiku saat ini.
“Aku sayang Ditya dan Fabian, karena mereka adalah laki-laki yang bisa membuatku tetap tegar dalam menjalani hidup.” kataku dalam hati menatap mata Fabian yang hampir mirip dengan mata Ditya yang selalu berbinar-binar membuat hatiku gemetar. Dan aku bisa melihat diri Ditya di dalam diri Fabian. Karena cintaku pada Ditya nggak akan pernah mati, meskipun aku dan Ditya ada di dunia berbeda.
***