Secret Admirer

Title: Secret Admirer
Author: Noctis Lucis Caelum aka Bayu Firmansyah / Lumina
Main Cast: Marshelly Ariesya Allen, Arion Sherwind, Axel Blaze
Support Cast: Riccardo Di Rigo, Mark Evans, Austin Hobbes
Rating: G
Length: Oneshot
Genre: Romance, School Life



Lagi-lagi mataku menangkap sosoknya yang duduk di balik jendela perpustakaan. Gadis berkacamata dengan bingkai hitam itu selalu memandangi kami—anggota klub basket—latihan setiap pulang sekolah. Ah, aku jadi penasaran apa yang menarik perhatiannya.


Aku tahu gadis itu bernama Marshelly Ariesya Allen biasa dipanggil Marshelly. Kami satu kelas, namun tak pernah bicara satu sama lain. Ia murid yang pandai dan selalu mendapat pujian dari semua guru. Mungkin karena itulah semua siswa lain iri padanya dan tidak ada yang terlihat ingin berteman dengannya. Atau mungkin karena ia memang pendiam? Aku saja sulit berkomunikasi dengannya meski aku ingin.


“Arion, semalam kau pasti nonton pertandingan bola lagi?” tanya Riccardo yang juga anggota klub basket. Aku hanya mengangguk. Sepak bola memang hal yang kusukai di samping basket. Andai sekolah ini menyediakan klub sepak bola, aku pasti tidak akan bergabung dengan klub basket dan lebih memilih olah raga menggunakan bola kaki itu.


“Yaa, kau jangan nonton pertandingan bola terus, Arion! Ingat minggu depan kita juga ada pertandingan! Kalau kau sakit atau kurang konsentrasi karena tidak tidur, nanti kita bisa kalah!” Mark menimpali dengan nada menyebalkan. Aku langsung melempar bola basket ke arahnya hingga menjatuhkan kotak susu pisang—kesukaannya—yang sedang diminumnya.


Di balik badan Riccardo, anggota klub yang lain—Axel dan Austin—juga tertawa mendengarku di-bully. Ini sungguh penghinaan. Aku memang sering mengabaikan waktu tidurku untuk menonton pertandingan sepak bola, namun itu tak mempengaruhi konsentrasiku bermain basket.


Olokan mereka membekas di benakku. Sungguh menyebalkan. Akan kubuktikan bahwa aku adalah seorang power forward yang tangguh. Sepulang latihan, aku tak segera meninggalkan lapangan dan kembali ke rumah. Sendirian aku berlatih di lapangan basket hingga langit perlahan mulai gelap. Setidaknya ini cukup ampuh untuk mengatasi kekesalanku.


Entah berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk latihan. Dua jam latihan bersama anggota klub lalu disusul dengan latihan tambahan—seorang diri—selama hampir dua jam. Tubuhku sudah lelah ketika aku melakukan lay-up terakhir sehingga aku kehilangan keseimbangan saat mendarat.


“AH!” Aku jatuh terduduk di lapangan. Kutahan tubuhku yang terjungkal dengan lengan kiri—yang bergerak refleks.


“Kamu ngaak apa-apa?” Sebuah suara mengalihkan perhatianku dari rasa sakit yang berdenyut di lengan dan bokongku.


Aku melihatnya. Ia yang tak pernah terlibat percakapan denganku, gadis perpustakaan yang selalu memandang ke arah lapangan basket dari balik jendela—Marshelly Ariesya.


“Ah, kau—” Aku berusaha menyembunyikan keterkejutanku. “—kenapa kau ada di sini, Marshelly?”


Marshelly menunjuk siku kiriku yang berdarah. Aku hendak berkata itu hanya luka kecil ketika ia mengulurkan plester ke arahku. “—dibersihkan dulu sebelum ditutup plester supaya tidak infeksi,” pesannya.


Dengan sedikit canggung aku menerima plester pemberiannya dan mengucapkan terima kasih. Aku berpikir apa yang seharusnya kulakukan ketika kekosongan menyelimuti udara di sekitar kami. Ah, mungkin aku bisa menawarkan diri mengantarnya pulang. Bukankah hari sudah malam? “Uhm, kalau begitu, sampai jumpa.” Belum sempat aku membuka mulut untuk menawarinya pulang bersama, ia sudah berdiri dan beranjak pergi.


Aku hanya menghela nafas kecewa. Bodoh! Padahal ini kesempatan langka di mana kami bisa berbicara berdua. Aku berdiri dan menepuk celanaku yang kotor, lalu berjalan ke pinggir lapangan dan mengambil tasku. Kumasukkan plester pemberian Marshelly ke dalam tas. Rasanya sayang jika menggunakan barang pertama yang kudapat darinya.


Tanganku bergerak riang memutar kunci motorku saat aku berjalan ke parkiran. Sepertinya, aku menemukan cara lain untuk mengatasi mood burukku.


Keesokan harinya, aku memberanikan diri datang ke perpustakaan—yang selama hampir dua tahun tak pernah kupijak satu kali pun. Aku menyembunyikan diri di balik rak-rak buku yang berjejeran. Diam-diam kuperhatikan dirinya. Bola matanya yang bergerak membaca rentetan kalimat dalam buku. Tangannya bergerak luwes membalik lembar demi lembar halaman yang telah dibacanya.


Waktu bergulir begitu cepat dan membuatku terlonjak kaget ketika menyadari aku sudah hampir terlambat untuk latihan basket. Dengan tergesa kuambil buku apa pun yang berada di dekatku. Setidaknya, aku ingin bicara dengannya sebelum meninggalkan perpustakaan.


“Uhm, Arion, kau yakin ingin meminjam buku ini?” tanya Marshelly ketika aku memberikan buku di tanganku untuk dicatatnya.

Mencegah Kanker Serviks Sejak Dini


"Sial! Buku macam apa itu yang kuambil? Bodohnya aku! Ini sungguh memalukan!"


Aku memaki diriku sendiri dalam hati sembari menarik kembali buku aneh itu dari tangan Marshelly yang masih menatapku heran. Ketika Marshelly sudah tidak bisa melihat sosokku yang berada di balik rak, aku menghantamkan kepala bodohku ke rak—tak terlalu kuat karena aku khawatir rak-rak buku ini akan roboh jika beradu dengan kepala kerasku.


Mataku menyusuri jejeran punggung buku dan menarik buku yang kira-kira tidak aneh untuk kupinjam, buku Cedera dalam Olahraga.

Marshelly mencatat buku yang kuberikan kepadanya. “Uhm, kau tidak ingin menonton latihan basket dari dekat?” tanyaku seraya menerima buku pinjamanku kembali. Gadis itu hanya menatapku heran sehingga membuatku salah tingkah. “Ah, bukan apa-apa. Sudah, ya. Sampai jumpa!”


Aku bergegas keluar dari perpustakaan dengan menahan malu. Saat tiba di lapangan basket, semua anggota klub sudah berkumpul.


“Arion, kau terlambat!” seru Mark seolah aku tidak tahu bahwa aku memang terlambat.
“Kau darimana, Arion?” Mata Riccardo menatap janggal buku yang masih kujinjing di tanganku.
“Perpustakaan,” jawabku singkat sembari meletakkan tasku di pinggir lapangan.
“Sejak kapan kau suka membaca buku? Kukira perpustakaan adalah tempat terlarang buatmu,” sindir Axel yang sedang melakukan streching tak jauh dari tempatku meletakkan tas.
“Uhm, kalian tahu cewek penjaga perpustakaan itu suka menatap ke arah lapangan dan melihat kita latihan?” tanyaku tak mengacuhkan sindiran Axel.
“Cewek yang mana?” tanya Austin penasaran. Refleksnya selalu paling cepat kalau mendengar kata cewek.
“Teman sekelasku, namanya Marshelly Ariesya”


Riccardo telah melemparkan pandang ke jendela perpustakaan yang berada di seberang lapangan basket. “Oh, cewek kutu buku itu? Pasti hidupnya hanya dipenuhi buku-buku ilmiah. Eh, tapi tunggu dulu, jangan bilang dia suka memandangi kita karena dia menyukai salah seorang di antara kita?”


Axel meninju pelan bahu Riccardo sambil terkekeh. “Lalu menurutmu siapa yang dia suka?”


Aku menelan ludah mendengar pembicaraan mereka berdua.
“Mau taruhan?” Riccardo mengangkat sebelah alisnya.
“Ric. Aku bertaruh cowok yang disukainya itu aku,” seringai Axel penuh percaya diri.

Beberapa saat kemudian Marshelly keluar dari perpustakaan melalui koridor panjang yang berada di sisi lapangan basket, sambil membawa buku pelajaran


“Axel Blaze! Axel! Axel!”
“Ayoo! Axelku!”
Suara cempreng gadis-gadis penggemar Basket memekakkan telinga. Suara mereka benar-benar dapat dikategorikan sebagai polutan.
“Axelku, bolehkan aku jadi pacarmu?” Salah seorang gadis yang kuduga adalah fans—dari caranya memanggil Axel dengan kata yang dibuat-buat—berhasil membuat langkah Marshelly terhenti dan tubuhnya mematung di tempatnya berdiri.
Axel hanya tertawa memamerkan eye smile yang membuat cewek-cewek semakin tak karuan. Kulihat Marshelly menghela nafas lega melihatnya bereaksi menanggapi pertanyaan-pertanyaan aneh gadis-gadis centil itu.
“Axel, aku serius!” Gadis yang tadi mulai merajuk dan memanyunkan bibirnya.
Axel berhenti tertawa dan menatap gadis itu. “Tidak bisa, kau bukan tipe-ku.”
 “Memangnya Axel suka cewek seperti apa?” Gadis lainnya yang nampak penasaran ikut melontarkan pertanyaan.
Axel masih menatap ke arah Marshelly saat sudut bibirnya mulai terangkat dan menyunggingkan senyum. Tentunya melihat Axel tersenyum dengan jarak sedekat ini, ditambah tatapannya yang tak lepas dari mata Marshelly. Bikin aku panas.
“Dia,” ucap Axel dengan telunjuk mengarah lurus kepada Marshelly, “cewek di sana.”

 “Kau Marshelly, kan?” tanya Axel yang kini berdiri tak sampai tiga-puluh-senti dari Marshelly. Aku hanya bisa melihat mereka. “Aku suka padamu. Kau mau berkencan denganku?”
Dan ternyata benar saja. Hatiku rasanya perih seperti luka yang ditetesi air lemon saat kulihat dengan jelas dari tatapan matanya, Marshelly terpesona akan sosok Axel Blaze. Sang kapten basket itu dengan penuh percaya diri mengajak Marshelly berkencan dan membuat gadis itu pingsan karena shock.


Aku langsung berlari keluar lapangan dan mengangkat tubuhnya yang kurus—dan ringan—ke ruang kesehatan. Axel dan Riccardo mengikuti kami dari belakang.
“Jadi sekarang bagaimana? Sudah terbukti cowok yang disukainya itu aku.” Axel masih bercakap soal taruhan, saat aku cemas setengah mati melihat Marshelly yang tak kunjung sadar.
“Masih belum pasti,” elak Riccardo tak mau kalah begitu saja, “aku baru akan mengakuinya kalau kau berhasil mengajaknya kencan dan—”


BRAK! Aku menggebrak nakas di samping tempat tidur. “Bisakah kalian berhenti membicarakan taruhan itu? Siapa pun yang disukainya, itu adalah haknya dan lebih baik kalian tidak ikut campur!”


Aku amat marah. Sebelum emosiku meluap dan membuatku meninju wajah kedua teman yang juga rekan satu timku, kuputuskan untuk meninggalkan ruang kesehatan.


Emosi yang memuncak membuatku melemparkan bola basket ke dalam ring berkali-kali tanpa arah. Dentuman demi dentuman terdengar bersamaan dengan bola yang menghantam ring hingga bergetar. Ironisnya, hal itu tak jua membuat kekesalanku hilang.


Aku harus memberitahu Marshelly soal taruhan itu. Meski aku patah hati mengetahui bahwa Marshelly menyukai Axel, namun aku tak ingin ia merasakan hal yang sama denganku. Aku mengintip lewat jendela perpustakaan. Kulihat Marshelly duduk di kursinya. Tangannya memegang note dan senyuman menghiasi wajahnya yang nampak berseri. Aku tak pernah melihatnya tersenyum seperti itu. Hanya karena Axel. Lelaki itulah yang disukai Marshelly dan mampu membuat gadis itu merasa bahagia.


Kakiku terasa lemas ketika akhirnya aku menapaki koridor dan menjauh dari perpustakaan—mengurungkan niatku karena aku merasa sesak menghimpit rongga dadaku hingga sulit bernafas.

Hari Senin pagi, aku berangkat ke sekolah dengan perasaan bercampur aduk. Sebagian masih merasa sakit jika mengingat kencan antara Axel dan Marshelly. Namun aku tak dapat menutupi perasaan cemas tentang taruhan yang dilakukan antara Axel dan Riccardo.
Benar saja. Aku baru menapaki gedung sekolah, Berjalan di koridor panjang dan gunjang-ganjing itu langsung terdengar di telingaku. Aku mendengar salah seorang gadis di antara gerombolan gadis lain berseru dengan keras, “Kalian sudah tahu belum, ternyata kemarin itu Axel  hanya taruhan dengan Riccardo!”. “Ah, Masa sih?” tanya gadis lainnya dengan nada dibuat-buat, “Aduh, kasihan sekali si kutu buku Marshelly sudah besar kepala! HAHAHAHA”. mereka kemudian tertawa.


Tanpa pikir panjang aku berlari menuju kelas Axel dan Riccardo yang bersebelahan dengan kelasku.
“Axel!” panggilku lantang, kakiku berjalan cepat ke arahnya yang sedang tertawa bersama Riccardo.
“Yoo Arion, kebetulan kau datang!” Riccardo berseru ke arahku dengan satu tangan terangkat. “Kemarilah, kau pasti juga ingin melihat ini!”
Riccardo menunjukkan layar ponsel Axel ke hadapan mataku. Kulihat di sana foto Axel dan Marshelly—tengah berciuman.
“Aku sudah memberikan bukti, sekarang kau mengakui kalau aku menang ?” Axel menyeringai bangga.
“Brengsek!” umpatku langsung mencengkram kerah baju Axel dan mengangkat tinjuku.
“Wooi! Arion!” Riccardo melonjak kaget melihatku hingga menjatuhkan ponsel Axel dari genggamannya. Tangannya kemudian menahan bahuku.
“Sudah kukatakan, jangan mempermainkannya!”
BAM! Aku melayangkan tinjuku ke permukaan meja. Tulang-tulang jariku berkedut nyeri, namun tak kugubris sedikit pun. Dengan kasar kuenyakkan tubuh Axel—yang sejak tadi berusaha mendorong tangan kiriku yang mencengkram kerahnya—dan berlari ke luar kelas.

Aku tak perlu susah payah mencarinya karena aku langsung menemukannya tengah menangis di perpustakaan—tempatnya bersembunyi selama ini. Sungguh ingin kurengkuh tubuh mungilnya dalam pelukanku, namun aku tak ingin membuatnya salah sangka. Aku tidak ingin disamakan dengan lelaki berengsek macam Axel!
Kutepuk bahunya lembut—beberapa kali—untuk membuatnya lebih tenang. “Ia tak pantas kau tangisi. Jangan sedih, yah?” Dia menatapku heran sehingga aku akhirnya mengakui soal taruhan itu, “—aku tahu, Axel dan Riccardo bertaruh tentangmu. Maafkan aku, aku harusnya memberitahumu.”


 “Bukan salahmu. Aku saja yang bodoh karena semudah itu percaya. Harusnya aku sadar bahwa cewek sepertiku tidak menarik.” Wajahnya nampak terluka mengatakan hal itu, membuatku tidak bisa diam saja dan menahan gejolak yang kurasakan selama ini.
“Yaa!” seruku cukup keras dan membuatnya tersentak kaget, “—kata siapa kau tidak menarik?” Aku menggaruk tengkuk salah tingkah. “Kau—menarik.”


Kuberanikan diri meliriknya yang kini menatapku dengan dahi mengernyit bingung. Kuulas senyum tipis ke arahnya, “Uhm, sebenarnya ada yang ingin kukatakan kepadamu, Marshelly. Selama ini aku sering memperhatikanmu—diam-diam.”
Matanya membulat menatapku tak percaya. Melihat mimik wajahnya membuatku jadi gemas. Kucondongkan badan ke arahnya dan berbisik di telinganya,

“Bisa dibilang aku ini pengagum rahasiamu.”


–END–
Itulah cerpen cinta romantis dari temen kita moga kalian suka dengan cerpen tadi ya :)