Cewek Bla Bla Bla
Cewek Bla Bla Bla
Oleh
: Yanuari Purnawan
Sebuah
kalimat yang selalu gue inget dalam hati hingga relung jiwa. “Percayalah jodoh itu sudah ada di tangan
Tuhan.” Kalimat tersebut membuat gue semakin percaya hingga kini. Karena,
sampai saat ini jodoh gue masih ada di tangan Tuhan. Hal ini mebuat dada sesak
dan tisu rumah cepat habis. Ya, iyalah! Gue harus menangis semalaman. Semua
gara-gara, pangeran berkuda putih, tak jua datang melamar.
Hal
yang paling gue benci di dunia ini adalah disuruh belanja ke Kang Maman. Bukan,
karena Kang Maman yang merupakan pedagang sayur keliling dan sudah punya istri
dua itu. Apalagi Kang Maman ingin jadiin gue istri yang ketiga. Melainkan,
ngomongan pedas, sepedas harga bawang merah ibu-ibu kepo. Para ibu kepo yang
merupakan aliansi ibu rumpi se-RT
tersebut, membuat gendang telinga jadi bengkak kayak telinga gajah.
“Nis,
kapan nih menikah?” tanya Bu Ninis yang merupakan istri Pak RT itu sambil
membetulkan kacamatanya lalu tersenyum ke arah gue.
“Iya
nih! Non Nisa masak kalah sama Kang Maman yang sudah nikah ampe dua kali,”
tambah Kang Maman sambil nyengir kuda, membuat gue infill saja melihat gigi depannya yang tidak tumbuh-tumbuh
tersebut.
“Doain
saja!” jawab gue singkat sambil memilih sayuran yang akan gue masak hari ini.
“Nunggu
apalagi sih, Nis? Umur sudah matang, udah jadi guru Paud lagi,” jelas Bu Leha
yang berdaster cokelat dan kedodoran tersebut. Membuat gue ingin pukul tuh
perutnya yang udah kayak tanjidor. Dan lagi-lagi gue hanya diam sambil tersenyum
ke arah manusia kepo akhir zaman tersebut.
“Apa
nunggu Kang Maman jadiin istri ketiga!” Mendengar perkataan Kang Maman tadi,
gue ingin ambil golok aja. Bukan buat bunuh tuh aki-aki labil tersebut. Tapi,
biar dia sadar gue tuh masih punya otak tajam alias masih waras. Emang gue
cewek apaan, dijadiin yang ketiga. Yang pertama saja belum datang melamar.
Seharusnya
seseorang yang habis belanja itu senang. Namun, sebaliknya gue hanya bisa
menekuk wajah, tak bersemangat. Untung saja gue jadi guru Paud, jadi hampir
setiap hari melihat wajah anak-anak yang masih polos. Bebas dari polusi ibu-ibu
kepo. Walaupun, samar terlihat gozila
kepo tersebut sering ngerumpi sambil menunggu anak-anaknya pulang. Jujur, gue
bukan orang yang suka menutup diri. Apalagi mengenai urusan asmara. Sejak duduk
di bangku SMA, gue sudah terkena yang namanya virus merah jambu tersebut.
Saat
duduk di bangku kelas sebelas SMA, gue sempat menjabat sebagai sekretaris Osis.
Dari situlah, gue mulai berkenalan dengan cowok-cowok kece sekolah. Salah
satunya Niko atau Nizam Khoirudin. Ya! Karena, dia merupakan punggawa basket
sekolah. Jadi, namanya dikeren-kerenin. Keren kagak, aneh iya! Dari Nizam jadi Niko.
Cowok inilah yang pertama dekat, lebih tepatnya mendekati gue.
“Sibuk
amat! Nih, minum dulu,” sapa Niko alias Nizam sambil menyodorkan botol air
mineral. Tersirat senyum manis dengan lesung pipi menghiasi wajahnya.
“Entar
aja, Nanggung!” tanggap gue sedikit acuh. Air muka Niko mendadak kecut dan
manyun bak Tukul Arwana. Gue pun memalingkan muka dan fokus mengerjakan
proposal untuk acara meeting class.
Dan kebetulan banget gue berkoordinasi dengan seksi olahraga, yang tak lain dan
tak bukan adalah Niko. Suasana mendadak hening, hanya terdengan bunyi tut
keyboard komputer. Entah mengapa bulu kuduk tiba-tiba merinding. Bukan karena
ada dedemit lagi naksir gue. Tapi, ini bapaknya dedemit berwujud cowok yang
sedang mengamati gue.
“Ngapain lo lihatin gue …!” tanya gue sedikit
kikuk sambil menatap wajahnya yang mulai salah tingkah. Sambil tersenyum dan
memaerkan giginya, dia pun mulai
berbicara.
“Lo itu cewek yang langkah!”
“Maksud lo gue itu cewek purba. Langkah gitu!
Udah deh gue sibuk jangan bercanda.” Gue berusaha mengelak walaupun hati ini
sedang menari-nari. Bunga-bunga bak Syahrini.
“Lha … itu langkahnya lo! Judes banget sama
gue. Jujur ya, semua cewek satu sekolah pada naksir gue. Eh, lo yang beruntung
bisa dekat sama gue, malah cuek.” Mata Niko menyiratkan kejujuran yang teramat
dalam. Membuat gue sedikit mau terbang.
“Makasih pujiannya. Tapi gue nggak punya
recehan!”
“Tapi, jujur gue paling nggak suka sama cowok
yang keganjenan sama cewek-cewek,” lanjut gue tegas tanpa mengindahkan wajah
Niko.
“Maksud lo itu, gue?” tanyanya ragu. Gue pun
menghentikan jari-jari yang lentik untuk mengetik. Dan beralih memandang cowok
paling playboy dan nggak lebih ganteng dari Vino G Bastian itu.
“Terutama lo!” jelas gue dengan mimik wajah
yang serius.
Semenjak itu, jarak antara gue dan Niko tak
lagi dekat. Entahlah! Mungkin kita memang tak ditakdirkan bersama. Dan yang tak
pernah berubah dari Niko adalah senyum yang berhias lesung pipinya serta
playboy akutnya tersebut. Gue bersyukur, walau hanya sebentar dekat dengannya.
Namun, gue pernah dipuji cewek langkah.
Menginjak kelas dua belas, gue pun berkenalan
dengan cowok yang menjadi tutor di tempat les. Namanya, Faris Dwi Purnomo.
Biasa kami memanggilnya Kak Faris. Cowok ganteng dengan hidung mancung, mata
yang kecoklatan serta memiliki otak yang encer khususnya dalam bidang
matematika. Hingga, kalau gue perhatikan wajahnya sudah mirip integral bahkan
jenggot tipisnya meyerupai Phytagoras. Namun, gue … Ah! Gue jatuh hati sama nih
cowok yang berstatus mahasiswa di universitas negeri di kota Surabaya tersebut.
“Nisa …!” Teriakkan tersebut membuyarkan
lamunan gue. Dengan masih kaget, gue mendongakkan kepala. Dan … ternyata
pangeran gue yang berteriak tadi.
“Kamu melamun!” lanjutnya tegas menyiratkan
dia adalah pemuda yang berkarakter.
“Nggak kok, Kak! Tapi, gue sedang
membayangkan wajah Phytagoras waktu masih muda,” jelas gue sedikit gugup serta
diikuti tawa membahana seisi kelas les yang berjumlah sepuluh orang tersebut.
“Ada-ada saja kamu ini! Sudah cuci muka
sana,” ucap Kak Faris yang volume suaranya sedikit melemah dari yang tadi. Gue
pun segera bergegas menuju kamar mandi, sebelum Phytagoras tersebut berubah
menjadi Hulk.
Hari-hari gue saat itu bagai taman bunga di
dalam hati. Semua tentang Kak Faris menjadi hal terindah yang harus gue
ketahui. Begitupun ketika selesai ujian nasional, Kak Faris semakin dekat
dengan kami yang merupakan anak didiknya. Kami pun diundang ke acara ulang
tahunnya yang ke-23. Dalam kesempatan ini gue harus memberikan sesuatu yang
spesial untuk dia yang spesial dalam hidup gue.
Mendekati hari H, akhirnya gue mendapatkan
kado yang pas buat Kak Faris. Kemeja warna hitam menjadi pilihan gue. Semoga,
kado tersebut cocok untuknya. Bersama teman satu les, gue berangkat ke lokasi
acara. Gue mengenakan baju yang simple berwarna biru tua dan tak ketinggalan
jilbab yang senada dengan warna baju. Setelah tiga jam di depan cermin, gue pun
siap untuk menemui sang pangeran gue.
“Selamat ulang tahun … ini kado buat kakak!”
ucap gue sambil menyodorkan kotak yang bebalut kertas warna biru kepada Kak
Faris. Dia pun menerimanya sambil tersenyum ramah ke arah gue. Berasa gue nggak
nginjak tanah melihat senyum tersebut.
Konsep pesta ulang tahun Kak Faris bergaya
minimalis. Undangan pun tak banyak, mungkin hanya teman-teman dekatnya saja
yang diundang. Menginjak acara inti, yaitu pemotongan kue. Semua undangan
disuruh berkumpul di satu titik di mana kue tersebut diletakkan.
“Ini potongan kue pertama buat yang paling
spesial dalam hidup saya saat ini,” ucap Kak Faris sambil membawa potongan kue
pertamanya. Entah mengapa jantung gue berdetak lebih kencang. Bagai tanjidor
yang dipukul keliling komplek saat takbiran. Ya, Tuhan … semoga kue tersebut untuk gue. Sebaris doa gue
lantunkan dalam hati. Namun, bak makan durian sama kulitnya. Ternyata kue
tersebut bukan untuk gue. Melainkan untuk seorang cewek berambut sebahu dan
berbadan ramping serta bebalut gaun hitam yang bernama Sintia.
“Ini buat pacar baru saya, Sintia!” Terlihat
Sintia begitu bahagia menerima potongan kue pertama dari Kak Faris. Membuat
darah gue mendidih. Cemburu! Mungkin saja. Tapi ada hal yang paling membuat gue
menyesal. Menyesal karena gue harus merogoh tabungan untuk membeli kado buat
Kak Faris. Kalau tahu gini, gue nggak perlu bersusah payah memilih kado.
Patungan dengan teman satu les kan bisa dan lebih irit lagi.
Setelah acara ulang tahun yang berakhir drama
tersebut. Gue pun tak lagi berhubungan dengan Kak Faris. Bukan karena dia sudah
punya pacar, tapi gue sudah lulus SMA dan tak lagi ikut les. Kini, gue mengajar
Paud atau Pendidikan Usia Dini sekaligus kuliah dengan jurusan yang sama. Jadi,
gue lebih sering bersua bersama anak-anak yang masih polos dan lucu. Terus
bagaimana dengan urusan asmara? Jangan ditanya lagi, gue nggak pernah mengenal
istilah kapok. Mati satu tumbuh sejuta. Itulah prinsip gue yang selalu membuka
diri untuk berkenalan dengan namanya kaum adam.
Gue pun mulai aktif dalam kegiatan halaqah atau pengajian. Di mana ada
tempat menimbah ilmu agama, di situ gue datangi. Walaupun harus berkumpul
dengan ibu-ibu majelis taklim. Bagi gue tak masalah, karena dengan begitu gue
bisa belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik kelak. Bukan sekedar istri yang
hanya bisa masak dan mencuci. Tetapi, harus menjadi istri yang memiliki wawasan
yang luas. Dan masalahnya kini, siapa yang mau jadi imam gue.
Karena kesendirian gue yang sudah menginjak
usia dua puluh tiga. Rani, sahabat gue sekaligus guru Paud juga, selalu
membantu gue untuk menemukan jodoh yang dikirim Tuhan buat gue. Pernah, suatu
hari dia mengenalkan gue dengan seorang cowok yang begitu dewasa dan
berkarakter. Dari perkenalan pertama, kesan gue kepadanya sangat baik. Dan
merupakan tipe gue sekali. Wajah ganteng, kebapakan, dewasa dan sudah mapan.
Benih-benih berwarna merah jambu pun mulai tumbuh.
Semua itu hanya berlangsung selama seminggu. Karena,
Andre nama cowok tersebut, ternyata sudah punya istri. Hal itu kami ketahui
setelah proses investigasi ke rumah saudaranya. Jujur, mulai saat itu gue harus
lebih berhati-hati dengan namanya kucing garong. Rani pun masih tak putus asa
untuk menjodohkan gue. Kebahagian dia saat ini hanya bisa melihat gue bisa
duduk di pelaminan. Bukan foto di kondangan pernikahan orang, tapi pernikahan
gue sendiri.
Dari pada pusing kepala gue, mending mulai
saat ini gue perbanyak belajar agama. Bukankah memperbaiki diri, berarti juga
memperbaiki jodoh kita. Gue pun harus bangkit dan bergerak menjadi cewek yang
jauh lebih baik. Dan buat semua cewek yang sedang dilanda galau karena jodoh
tak kunjung datang. Jangan takut atau nangis sambil nempelin kepala di kaca
jendela melihat hujan turun serta diiringi lagu galau. Sudah itu bukan zamannya
lagi. Jodoh memang urusan-Nya. Bukan berarti kita tak menyiapkannya.
Gue selalu ingat dalam ayat Al-qur’an bahwa
laki-laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik. Begitu pun sebaliknya
laki-laki yang tidak baik hanya untuk perempuan yang tidak baik pula. Jadi,
untuk para single jangan pernah bersedih. Ingat hidup itu bukan hanya masalah
kapan menikah, tapi jauh ada yang lebih berharga lagi. Yaitu, jadilah orang
yang paling baik dengan menjadi orang yang paling banyak manfaatnya. Tetap
sabar dalam penantian, tetap belajar memperbaiki diri dan buka diri untuk
bersilaturahmi seluas-luasnya. Semoga, sebentar lagi jodoh impian datang
menjemput kita. Bukan karena cintanya, namun semua karena cinta-Nya. Percayalah
pasti akan ada pangeran berkuda putih yang siap melamar kita. Dalam waktu,
tempat dan skenario yang telah ditetapkan-Nya.
Selesai
_Based True Story From My Friend_