Cerpen Cinta Sejati - AKU MENCINTAIMU
Cerpen Cinta - AKU MENCINTAIMU kali ini postigan terbaru tentang cerpen yang sangat menyentuh sekali karya sahabat kita yaitu farabi cerita ini memang sangat cerpen cinta sejati banget dari pada penasaran silakan baca aja deh :)
AKU MENCINTAIMU
Karya : Muhammad Al-Farabi
Bentakku dengan suara yang
lantang dan keras. Anak-anak dengan pakaian yang serba aneh berlari berhamburan
tak karuan. Suara kerincingan dari sepatu calon peserta didik baru mendominasi
suasana pagi yang masih gelap dan diselimuti kabut yang cukup tebal.
Ya, perkenalkan namaku Hamish
Sabian. Aku seorang senior OSIS tingkat 2 di salah satu SMK di Jogjakarta. Aku
tidak merasa istimewa, aku hanya siswa sederhana yang mengikuti banyak kegiatan
di sekolah untuk mencari banyak teman.
Bersama dua sahabatku Faril
Ramadhan dan Christian Bakti Perdana, aku menjalani kegiatan di sekolah dengan
senang hati. Salah satunya menjadi seorang pengurus OSIS. Masa Orientasi Siswa
atau MOS memang menjadi ajang yang paling ditunggu tunggu oleh senior OSIS
tingkat 2 dan 3. Dengan kegiatan ini kami bebas memarahi, mengerjai, maupun
menghukum adik kelas sesuka hati kami haha.
Dari kejauhan terdengar suara
rintihan dari dekat gerbang masuk. “Aduh.. Kakiku sakit!” Tanpa berpikir
panjang aku menuju ke sumber suara. Remang remang ku lihat seorang gadis dengan
rambut bergelombang merintih kesakitan. Memang keadaan belum terlihat jelas
karena mereka diwajibkan berangkat pukul 4 pagi.
“Hei, kamu! Kenapa kamu berteriak
teriak? Tidak Merasa ditunggu ya?!” Bentakku.
“Maaf kak, kaki saya terkilir
karena terburu buru saat lari.” Balasnya dengan suara gemetar.
“Baiklah. Cepat kamu susul teman
temanmu yang sudah berbaris di lapangan!”
“Baik kak. Terimakasih.”
Gadis itu buru-buru membereskan
atributnya yang berceceran akibat terjatuh. Mungkin karena ketakutan dia
langsung berlari tanpa memperhatikan kalau ada atribut yang tertinggal.
“Hei kamu! Atributmu ada yang
tertinggal!” Teriakku dengan lantang.
Namun karena sudah terlampau
jauh, mungkin dia tidak mendengar suara teriakanku. Sekilas kulihat papan
namanya, disitu tertulis jelas namanya. Dia bernama Vania Agatha. Papan namanya
yang berwarna biru menunjukkan bahwa dia masuk jurusan yang sama denganku.
Aku segera pergi ke lapangan
untuk mengumumkan papan nama milik siswi yang bernama Vania itu. Begitu ku
panggil namanya, dia maju ke depan dengan kepala yang sedikit ditundukkan.
Sepertinya dia masih takut akibat kubentak tadi pagi. Setelah mengambil papan
miliknya dia kembali ke barisannya.
Seharian itu kami habiskan untuk
memarahi dan mancari-cari kesalahan para siswa baru. Bentakkan tak henti
hentinya dilontarkan oleh Adry yang merupakan ketua OSIS di sekolahku.
“15 menit untuk makan itu kurang?
Iya?!” Bentak Adry sambil melotot.
“Tidak kak.” Jawab mereka dengan
suara yang lirih dan lemas.
“Lalu kenapa masih ada yang
terlambat berkumpul? Sekarang ambil konsekuensi 125 kali push up! Laksanakan!”
Perintah Adry.
Dibawah teriknya sinar matarhari
mereka dengan sigap melaksanakan instruksi dari Adry tersebut. Sebagian siswa
mulai pingsan dan dibawa oleh PMR ke UKS untuk beristirahat.
Sejak tadi kupandangi Vania yang
entah kenapa membuatku begitu penasaran terhadapnya. Tak berselang lama Vania
juga terjatuh pingsan. Aku berlari mendekatinya. Di saat yang bersamaan PMR
juga berdatangan, namun aku menyuruh mereka untuk kembali.
Aku mengangkat tubuhnya dan
dengan segera ku bawa ke UKS. Kubaringkan dia sambil ku kipasi agar dia cepat
siuman. Kutatap wajahnya yang pucat pasi karena pingsan. Aku menatapnya dengan
begitu dalam, dan dapat ku rasakan ada sesuatu yang membuatku tertarik
dengannya.Karena sudah banyak PMR yang bertugas menjaga, kutinggalkan Vania
yang masih pingsan dan kuputuskan untuk kembali ke lapangan.
Saat acara sudah selesai, aku
menyempatkan diri untuk melihat keadaan Vania di UKS. Dari kejauhan terlihat
dia sedang berbicara dengan anggota PMR yang bertugas. Aku putuskan untuk
menghampiri dan memastikan bahwa keadaannya sudah membaik.
“Hai!” Sapaku.
“Hai juga kak.” Balasnya dengan
suara yang gemetar begitu melihatku mendekat.
“Kamu ngga usah takut, aku ngga
bakalan gigit kamu kok. Kenalin aku Hamish anak kelas 2, satu jurusan sama
kamu.” Kulontarkan gurauan untuk mencairkan suasana.
“Iya. Kenalin juga, namaku..”
“Vania kan?” Sahutku memotong
omongannya.
“Kok kakak bisa tau?” Dia
keheranan.
“Kan aku yang nemuin papan nama
kamu.”
“Oh iya, aku lupa kak maaf.”
Balasnya sambil tersenyum.
Seketika ku lihat sedikit
senyuman di bibirnya yang masih pucat itu. Aku memulai pembicaraanku dengannya.
Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari sekolah sampai masalah percintaan.
Begitu mengetahui kalau dia sudah punya pacar, aku sedikit merasa kecewa. Namun
hal itu tidak menghalangiku untuk terus berjuang mendapatkan cintanya.
Hari sudah semakin sore, sekolah
sudah mulai sepi. Hujan mulai jatuh membasahi sekolahku yang luasnya berhektar
hektar ini. Benar benar sore yang dingin. Kuputuskan untuk mengajak Vania
pulang bersamaku. Kebetulan kami sama pulang dengan naik angkutan umum. Kulihat
dia menggigil karena hujan yang sangat deras, ditambah angin yang bertiup
sangat kencang.
“Kamu ngga bawa payung apa
jaket?” Tanyaku.
“Ngga kak. Tas karungnya ngga
cukup.” Dia membalas dengan suara penuh sesal.
“Ini pakai aja jaketku. Kamu
lebih butuh dari pada aku. Nih!” Sambil mengulurkan jaketku.
“Ngga kak, ngga usah. Kakak aja
yang pakai. Kan cuacanya lagi dingin banget.” Dia menolak dengan halus.
“Udah pakai aja. Aku ngga
kedinginan kok. Pakai ya!”
“Iya deh kak. Makasih ya kak!”
Kubalas ucapan terimakasihnya
dengan senyum. Begitu hujan sudah mulai reda, kami memutuskan untuk segera
menunggu angkutan umum di depan sekolah. Terlihat sebuah angkutan berwarna
hijau mendekat dan berhenti di depan kami. Aku mengajaknya naik.
“Yuk naik! Kamu naik duluan!”
“Iya kak. Duduk sebelah situ aja
ya kak, biar gampang keluarnya”
“Iya deh. Aku ngikut aja.”
Angkutan umum yang kami tumpangi
mulai berjalan. Kami menikmati perjalanan sambil melihat suasana kota menjelang
malam. Tanpa kusadari Vania sudah tertidur pulas dengan kepala tertunduk.
Kusandarkan kepalanya di bahuku agar lehernya tidak sakit saat terbangun. Aku
terkejut karena tiba tiba tangan Vania memelukku dengan erat. Kulihat dia
menggigil kedinginan, maka ku putuskan untuk menunggunya sampai dia terbangun.
“Eh kak maaf. Aku ngga tau kenapa
tadi bisa meluk kakak gitu.”
“Haha sante aja lagi. Oh iya,
ngomong ngomong rumah kamu mana?”
“Rumahku di daerah Losari, udah
hampir sampe kok kak. Kalau kakak?”
“Rumahku daerah Bandar, udah
kelewatan sih hehe.”
“Ih, maaf kak. Gara gara aku
kakak jadi kebablasan deh!”
“Nggapapa kok, aku turun sini aja
ya. Jaketku bawa dulu aja.”
“Iya kak. Hati hati ya.”
Kulontarkan senyuman kepadanya. Aku
melangkahkan kakiku keluar dari angkutan umum. Aku menunggu angkutan umum untuk
berbalik arah. Sesampainya di rumah aku baru ingat kalau aku lupa untuk meminta
nomor hp nya. Sial!
Malam itu kuputuskan untuk
menelfon Chrsitian untuk menceritakan apa yang kualami hari ini. Aku ceritakan
semua yang kualami tadi bersama Vania.
“Yang bener kamu? Gila aja, baru
hari pertama MOS udah dapat gebetan.” Ledeknya.
“Biarin. Mungkin ini kali ya,
yang namanya love in the first sight?”
“Alay ah kamu. Tapi bisa juga
sih.”
“Kamu ngatain alay tapi akhirnya
setuju juga.”
“Ya mau gimana lagi Ham. Terus rencana
kamu berikutnya apa?”
“Ngga tau, dia udah punya pacar
sih. Terus aku harus gimana?”
“Ya dipejuangin dong. Good luck
ya!”
“Eh tapi Chris..”
Ya, bagus, telfonnya diputus sama
Christian. Aku jadi galau semalaman. Berkali kali kuputar lagunya RAN yang judulnya
Pandangan Pertama. Sampai sampai yang awalnya ngga hafal lagunya, jadi halfal
banget. Aku nyanyi nyanyi ngga karuan di dalam kamar.
“Kurasa ku telah jatuh cinta pada
pandangan yang pertama..”
Berkali kali kuputar lagunya
hingga aku merasa bosan dan tak sanggup lagi untuk membuka mataku. Akhirnya
kumatikan lagunya dan mulai membaringkan badan untuk tidur.
“Kringgggg...”
Alarm dari hp ku membangunkanku
dari tidur yang sangat singkat ini. Aku masih sangat lelah dan ngantuk untuk
mejalani MOS hari kedua ini. Kulihat hp ku, jam menunjukkan pukul 3 pagi. Aku
segera mandi dan bergegas berangkat agar tidak keduluan oleh siswa baru.
Sesampainya di sekolah aku
bertemu dengan Christian dan Faril yang sedang berjaga di dekat gerbang masuk.
Banyak sekali siswa yang berlari memasuki gerbang karena takut terlambat.
Seperti biasa aku menyapa mereka berdua.
“Pagi bro!”
“Pagi juga bro!” Jawab Christian
dan Faril.
“Aku pengen curhat nih sama
kalian berdua.”
“Kebatulan aku juga lagi pengen
cerita sama kalian.” Balas Faril sambil cengar cengir.
“Yaudah kamu duluan aja Ril yang
cerita!”
“Gue lagi suka sama cewek nih!”
“Siapa Ril? Anak kelas 1? Jurusan
apa?” Tanya Christian dengan penuh keheranan.
“Iya Ril siapa? Jangan bikin
penasaran dong!” Aku menambahkan.
Faril tertawa sambil sesekali
memasang raut wajah yang membuat kami semakin penasaran. Memang sudah lama kami
tidak membicarakan hal yang berhubungan dengan urusan cinta. Makanya
pembicaraan kali ini terasa sangat mengasyikkan.
“Tapi kalau aku ngasih tau,
kalian jangan bilang ke siapa siapa ya?”
“Iya deh. Aku sama Hamish janji.”
“Aku suka sama anak kelas 1, satu
jurusan tuh sama Hamish.”
“Siapa namanya?” Balasku dengan
penuh rasa penasaran.
“Namanya Vania, dia dulu adik
kelas aku di SMP”
Perasaanku seketika tak karuan.
Sedih, kecewa, marah semua jadi satu. Aku sampai sampai sulit untuk berkata
kata. Ternyata sahabatku, suka dengan orang yang sama denganku. Aku bingung,
apa yang harus aku lakukan jika keadaan berkata demikian. Seketika aku dilema.
Apakah aku harus tetap memperjuangkan cintaku untuk Vania, apa aku harus mundur
untuk sahabatku sendiri. Tapi, bukankah Vania sudah memiliki kekasih. Apa Faril
benar benar tidak tau tentang hal itu.
“Gila kamu Ril!” Bentak
Chrsitian.
“Loh? Gila kenapa?”
“Gila, cewek yang kamu taksir
canti banget. Iya kan Chris?”
Aku memotong pembicaraan mereka,
aku takut kalau Christian akan membelaku dan menyalahkan Faril. Aku memilih
mengalah untuk sahabatku. Apa salahnya ku korbankan perasaanku untuk sahabatku
sendiri. Seketika kutarik tangan Christian masuk ke dalam sekolah.
“Kenapa kamu malah ngajak aku ke
sini? Aku harus ngasih tau Faril yang sebenarnya!”
“Udah Chris. Aku milih ngalah
aja. Aku ngga mau persahabatan kita rusak Cuma gara gara cewek.”
“Tapi..”
“Udah Chris. Aku aja udah ikhlas
kok. Aku yakin ini yang terbaik buat aku.”
“Yaudah deh Ham. Aku doain yang
terbaik buat kamu.”
“Thanks ya Chris. Oh iya tolong
rahasiain tentang perasaan aku sama Vania ya. Aku ngga mau ada orang yang tau,
apalagi Faril.”
“Oke Ham. Pastinya.”
Hari itu kami jalani seperti hari
sebelumnya, memarahi, mengerjai, dan menguhukum siswa baru dengan berbagai
alasan. Hanya saja pada hari itu ada jadwal kunjungan industri untuk para siswa
baru. Entah kebetulan atau disengaja, aku mendapatkan bagian untuk menjadi pengawas
di bus milik kelas Vania. Aku bingung harus merasa senang atau sedih, karena
aku harus dihadapkan dengan Vania yang ternyata juga dicintai sahabatku
sendiri.
Dari kejuhan kulihat Faril
bertanya taya kepada rekan rekanku OSIS. Dan akhirnya dia menuju ke arahku.
“Eh Ham, kamu yang ngawasin di
busnya Vania kan?”
“Iya Ril, kenapa emang?”
“Boleh tukeran ngga? Aku pengen
jadi pengawas di busnya Vania”
“Boleh kok Ril, ini daftar
absennya.”
“Makasih banyak ya Ham.”
Kulontarkan senyum kepadanya
untuk menutupi kesedihan yang sebenarnya aku rasakan. Aku merasa tidak sanggup
untuk menutupi rasa sakit hatiku. Tapi di sisi lain aku juga harus menjaga
perasaan Faril, sahabatku sendiri.
Semua siswa baru diinstrusikan
untuk segera memasuki bus agar jadwal acara yang sudah kami buat tidak molor.
Kulihat Faril sangat bahagia membimbing para siwa baru untuk masuk bus. Sebuah
pemandangan yang sangat berbeda dengan keadaanku saat ini. Iya, aku sangat
menginginkan berada di posisi Faril saat ini. Aku ingin melihat Vania, aku
ingin bersamanya. Tapi apa yang bisa aku lakukan dengan keadaanku seperti ini,
aku hanya bisa diam dan mencoba untuk ikhlas.
Hari itu kami habiskan
berkeliling pabrik makanan yang kami kunjungi. Seharian kami di sana sudah
banyak anak kelas 1 yang pingsan karena keadaan di dalam pabrik memang sangat
pengap. Jam menunjukkan pukul setengah 3 sore. Kami segera kembali ke sekolah
agar para siswa tidak pulang terlalu malam.
Aku tidak berniat mengajak Vania
untuk pulang bersama sore itu, karena aku ingin menjaga perasaan Faril. Dan
benar sekali dugaanku, Faril mengajak Vania untuk pulang bersama. Tapi, entah
mengapa Vania meolaknya. Ada sedikit rasa gembira dalam hatiku. Vania segera
menuju ke basecamp OSIS untuk mencariku.
“Kak, pulang bareng yuk!”
“Loh, kata Christian kamu dianter
sama Faril?”
“Engga kok. Kak Faril tadi emang
ngajak bareng, tapi aku ngga mau hehe.”
“Aduh, tapi aku ngga bisa Van.
Aku mau ke rumah Christian dulu ngambil titipan tugas. Maaf ya!”
“Iya kak ngga papa kok. Yaudah
aku pulang duluan ya!”
“Iya Van, hati hati ya!”
Aku terpaksa harus menolak ajakan
Vania untuk pulang bersama. Aku harus berbohong pada diriku sendiri yang
membuat rasa sakit kembali aku rasakan. Tidak lama kulihat Vania pulang bersama
Faril. Ada rasa senang bercampur sedih karena Vania tidak jadi pulang
bersamaku. Hal itu membuatku semakin merasa sakit hati. Sampai kapan harus
kututupi perasaanku pada Vania.
MOS pun akhirnya berakhir. Aku
kembali ke aktivitasku semula. Aku putuskan untuk semakin menjauh dari Vania.
Tiap kali dia menyapaku, aku membuang muka darinya. Tiap kali berpapasan aku
memilih berbalik arah atau pura2 tidak melihat. Semua itu ku lakukkan untung
menghilangkan perasaanku padanya. Tapi entah mengapa, semakin aku mencoba
menjauh, rasa sakit itu semakin terasa.
Sudah berjalan 5 bulan, namun
perasaanku masih saja untuk Vania. Aku sudah bingung, harus dengan cara apa
melupakannya. Padahal Vania pun sudah putus dengan pacarnya sekitar satu bulan
yang lalu. Hari itu tepatnya hari Senin sepulang sekolah aku membuka facebook
karena sudah satu minggu aku belum online. Seperti biasa, aku ngestalk timeline
facebook milik Vania. Betapa terkejutnya aku, karena disitu tertulis jelas
Vania Agatha berpacaran dengan Faril Ramadhan. Hatiku benar benar hancur kali
ini. Rasanya aku ingin berteriak untuk meluapkan semua emosi yang terpendam
selama berbulan bulan ini. Kuputuskan untuk menelfon Faril, akan kuucapkan
selamat atas hubungannya dengan Vania.
“Hallo Ril.”
“Iya Ham, ada apa? Tumben nelfon
hehe.”
“Hehe ngga papa kok. Cuma mau
ngucapin selamat aja.”
“Selamat buat apa?”
“Kan kamu habis jadian sama
Vania?”
“Hehe udah 5 hari yang lalu kok.”
“Aku tunggu pajak jadiannya ya!”
“Haha siap bos!”
Aku mencoba
untuk menguatkan hatiku. Kali ini aku benar benar rapuh, seperti kumbang tanpa
sayap yang mencoba untuk terbang kembali.
Sore itu
bertepatan dengan malam Natal aku yang sedang jalan jalan di pusat kota bertemu
dengan Vania yang sedang berbelanja kebutuhan Natal. Sudah lama sekali aku
tidak berbicara dengannya. Kusempatkan sebentar saja untuk menemaninya
berbelanja. Karena hari semakin larut dia berpamitan untuk segera pulang. Dari
kejauhan kupastikan bahwa dia mendapatkan angkutan umum untuk pulang.
Sangat lama aku
menunggu Vania yang belum mendapatkan angkutan umum. Tapi kenapa dia tidak
meminta Faril untuk menjemputnya saja, tanyaku dalam hati. Tiba tiba dari
kejauhan mucul sebuah sepeda motor yang melaju kencang. Motor menuju ke arah
Vania dan menarik tasnya.
“Tolong
jambret! Tolong jambret!”
Aku langsung
menuju ke arah Vania, orang orang disekitar jalan juga berdatangan. Sebelum
kami sampai, motor itu sudah melaju kencang. Vania terseret, dan kepalanya
membentur badan jalan. Sekuat tenagaku aku berteriak, aku menyesal tak menunggu
di sampingnya. Aku kesal, dimana kekasihnya yang seharusnya menjaganya.
“Van, bangun
van! Bangun!” Teriakku.
Aku tak dapat
membendung air mataku melihat keadaan Vania. Kepalanya mengeluarkan darah. Aku
yang selama ini merasa pusing saat melihat darah, entah kenapa rasa takut itu
hilang. Yang aku pikirkan bagaimana aku bisa menyelamatkan Vania saat itu juga.
“Langsung di
bawa ke rumah sakit aja mas! Pakai mobil saya saja.” Ujar salah satu orang.
“Benar pak?
Terimakasih sekali pak”
“Sama sama. Ayo
langsung dinaikkan saja ke mobil!”
Beruntungnya
diriku karena orang orang masih memiliki rasa simpati. Dengan segera Vania kami
bawa ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan aku mengusap darahnya yang mengucur.
Aku menangis, aku benar benar lemah kali ini.
Sesampainya di
rumah sakit, bapak yang baik tadi juga menanggung administrasi untuk Vania.
Karena kondisinya yang parah, Vania harus masuk UGD. Aku memutuskan untuk tidak
menelfon siapapun dulu, aku takut terjadi sesuatu pada Vania. Berjam jam aku
menunggu dokter untuk memastikan keadaan Vania baik baik saja. Begitu dokter
keluar dari ruang UGD aku langsung menanyakan keadaan Vania.
“Bagaimana
keadaan teman saya dokter?” Tanyaku dengan rasa panik.
“Teman kamu
baik baik saja, hanya saja saat terjatuh ada benturan yang keras pada mata
kirinya. Sehingga kemungkinan mata kirinya mengalami kebutaan.”
Seketika
badanku lemas, aku merasa bersalah karena tidak bisa menjaganya.
“Tapi, kalau
ada donor mata untuk teman kamu, matanya bisa kembali normal.”
“Ambil mata
saya dok. Asalkan teman saya bisa selamat.”
“Tapi donor
mata hanya bisa dilakukkan pada orang yang meninggal. Sangat berbahaya jika
pendonor masih dalam keadaan hidup.”
“Saya tidak
perduli dokter! Apapun saya lakukan asalkan teman saya bisa selamat.”
“Baiklah. Tapi
kita harus membuat surat perjanjian terlebih dahulu.”
“Baik dokter.”
Aku mengukuti
dokter ke ruangannya untuk membuat surat perjanjian. Selang beberapa jam,
operasi pendonoran dilakukkan.
Entah berapa
lama sudah aku tertidur, begitu bangun ada rasa perih di mata kiriku. Aku pun
tidak bisa melihat apapun, aku seperti orang buta yang hanya bisa melihat
kegelapan. Tak lama dokter membuka perban yang terpasang di mataku. Aku mencoba
membuka mata kananku, sedangkan mata kiriku masih tertutup perban.
Aku berterima
kasih kepada dokter dan orang yang telah membiayai segala pengobatan Vania di
rumah sakit. Di samping tempatku berbaring, aku melihat vania masih tertidur
dengan mata tertutup perban. Aku berpamitan kepada dokter dan meminta satu hal
kepadanya.
“Pak, saat
teman saya terbangun tolong janga beritahu soal mata ini pak, saya mohon.”
“Tapi, kalau
ada anggota keluarganya yang bertanya?”
“Jawab saja kalau
dia hanya luka karena terbentur pada kepala dan matanya. Jangan katakan tentang
pendonoran ini ya pak.”
“Baiklah. Saya
janji.”
“Terimaksih
pak. Setelah ini akan saya telfon anggota keluarganya. Saya pamit pak!”
“Iya sama sama
nak!”
Aku menelfon
keluarga Vania dengan hp nya. Sebelum aku pergi meninggalkannya, kusempatkan
untuk mengecup keningnya. Air mataku menetes di pipinya. Berat rasanya untuk
meninggalkannya. Dengan berat hati, kulangkahkan kakiku meninggalkan rumah
sakit tersebut.
Aku masuk
sekolah seperti biasa, tapi ada yang berbeda. Iya, mata kiriku buta. Aku jadi
bahan olok olokan di sekolah, termasuk di kelasku. Teman teman yang dulu dekat
denganku mulai mejauh karena kondisi mataku yang buta. Tapi untungnya kedua
sahabatku tetap mau berteman denganku, merekalah yang membelaku saat aku dihina
dan merekalah yang selalu memberiku support agar aku tidak pernah putus asa
dengan kondisiku.
Saat pertama
melihat kondisiku banyak yang kaget dan terheran. Aku yang semula normal,
kenapa menjadi buta sebelah seperti ini. Ibulah yang pertama mengetahui
kondisiku sepulang dari rumah sakit saat itu. Ibu menangis saat aku melihat
kondisiku yang buta sebelah ini.
“Kok baru pulang
Ham? Terus, mata kiri kamu kenapa diperban seperti itu?” Ibu bertanya.
“Kemarin Hamish
kesrempet mobil, kepala sama mata Hamish kebentur jalan. Kata dokter mata kiri
Hamish buta bu.”
“Maafkan Hamish
bu.” Sesalku dalam hati.
Ibu seketika
memelukku dan menangis. Aku merasa bersalah karena telah membohongi ibuku
sendiri. Aku tak kuasa membendung air mataku.
Dua minggu
berselang, Vania kembali masuk sekolah. Kondisinya sehat. Aku senang
melihatnya. Sepulang sekolah ku lihat Vania sepertinya sedang menuggu Faril di
dekat gerbang. Kuputuskan untuk mendekatinya. Begitu aku menyapanya, dia kaget
melihatku dan menyuruhku untuk menjauh. Dia menghinaku seperti teman teman yang
lain.
“Hai Van”
Sapaku.
“Ngapain kamu
di sini?! Pergi pergi! Aku ngga mau punya temen cacat!” Balasnya dengan kasar.
“Ehh, maafin
aku Van. Aku pamit pulang aja kalau gitu.”
“Ya sana pulang
tinggal pulang!”
Entah apa yang
membuat sikapnya berubah drastis. Kutinggalkan Vania, dan kuputuskan untuk
pulang. Sakit hati semakin ku rasakan, tapi entah mengapa aku tak bisa
membencinya.
Hari hari ku
lalui tanpa komunikasi dengan Vania. Terkadang aku menyesali kondisiku yang
sekarang. Aku menyesali kenapa diriku sekarang cacat. Tapi Ibu dan sahabatku
selalu memberi support, dan aku bersyukur masih memiliki satu mata yang normal.
Terkadang
pandanganku sering kabur atau hilang. Hidungku juga terkadang mimisan, aku
takut terjadi sesuatu padaku. Tapi aku selalu berpositive thinking kalau ini
hanyalah efek dari donor mataku. Saat aku pergi bersama kedua sahabatku
menyaksikan pertandingan bola, aku merasa pusing dan ingin pingsan.
“Ham hidung
kamu mimisan, muka kamu pucet banget lagi!”
“Ham.. ham..
hamm!”
Tegur Christian
dan Faril sambil menggoyang goyangkan badanku. Aku pingsan di tengah keramaian
penonton bola. Dengan segera mereka membawaku ke rumah sakit terdekat.
Saat aku
terbangun, pandanganku buram. Samar samar ku lihat Christian dan Fadil menangis
di samping aku terbaring.
“Kalian kenapa
kok menangis?”
“Tidak apa apa
Ham. Ada hal penting yang harus kami sampaikan. Tapi kamu janji harus kuat ya?”
Faril membalas.
Jantungku
seketika berdetak lebih kencang dari biasanya. Perasaanku sangat tidak enak.
“Apalagi yang
terjadi padaku Tuhan?” Keluhku dalam hati.
“Iya Ril bilang
aja!”
“Kamu.. kamu..”
Faril berhenti
bicara, ia tak mampu membendung air matanya. Dia menyuruh Chrsitian untuk
memberitahuku tentang apa yang terjadi.
“Kamu.. kamu
kena kanker mata stadium akhir Ham.” Christian ikut menangis.
“Oh, aku ngga
papa kok! Sante aja lagi hehe.”
Duniaku serasa
ingin runtuh. Aku mencoba kuat dan sabar di hadapan teman temanku. Aku tidak
mau terlihat lemah di hadapan teman temanku. Lagi lagi aku harus manyembunyikan
kesedihanku, aku mersa sudah tidak sanggup lagi.
“Boleh minta
satu hal sama kalian?”
“Boleh banget
Ham. Apa?” Sahut Christian.
“Tolong
rahasian ini semua ya, termasuk orang tuaku.”
“Tapi Ham?”
“Kalau kalian
pengen nolongin aku, tolong banget jaga rahasia ini ya?”
“Iya Ham, kami
janji.”
Kami bergegas
meninggalkan rumah sakit. Semua kami jalani seperti biasa, tidak terjadi apa
apa. Aku tau, umurku sudah tak lama lagi, maka kusempatkan untuk menulis sebuah
surat untuk Vania. Surat itu kutitipkan kepada Faril, untuk suatu saat
diberikan kepada Vania.
“Ril, kalau
suatu saat nanti aku udah ngga ada tolong kasihin surat ini buat Vania ya?”
“Jangan gitu
ah, kamu bakal sehat kok. Kamu juga kenapa sih ngga mau berobat?”
“Percuma Ril,
aku udah stadium akhir. Sekali lagi titip ya buat Vania.”
“Iya Ham! Aku
yakin kamu bakal sehat kok.”
Dua belas hari
berselang. Hari itu adalah hari Valentine yang penuh akan rasa kasih sayang. Di
sekolahku ada event dengan mengundang band band besar. Sangat ramai sekali saat
itu, sampai sampai aku dan anak OSIS kewalahan. Seketika aku mimisan, aku yang
sedang berjaga di gerbang tidak dapat melihat apa apa, semuanya gelap. Rekan
OSIS yang lain mendekatiku dan menanyakan keadaanku.
“Ham, kamu
kenapa Ham?! Ham!”
Aku tidak tau
siapa yang memanggil namaku karena aku tidak bisa melihat. Badanku lemas,
rasanya aku ingin seperti tertidur.
Begitu bangun
ku lihat tubuhku dikerumuni banyak temanku. Mereka menangisiku, menyesalkan
karena aku telah meninggal dunia. Ya, aku telah meninggal. Tidak ada lagi sakit
hati yang ku rasakan, tidak ada lagi penyakit yang ku derita.
Berselang 7
hari setelah hari kematianku, Faril menepati janjinya untuk memberikan surat
titipanku kepada Vania. Vania segera membuka dan membaca surat dariku. Air
matanya menetes begitu membaca surat dariku.
“Untuk Vania,
Hai Van, apa
kabar kamu? Udah lama ya kita ngga ngobrol, pulang bareng. Kangen bisa gitu
lagi sama kamu. Tapi kayaknya itu udah ngga mungkin deh Van hehe. Mungkin waktu
baca suratku ini, aku udah pergi jauh banget. Aku sekarang udah tenang di sini
Van, aku udah sama Tuhan, Tuhan baik sama aku.
Maafin aku
kalau kamu malu punya temen buta kaya aku. Aku ngga bermaksud bikin kamu malu.
Kamu waktu itu nyuruh aku pergi jauh dari kamu kan? Sekarang aku udah menuhin
permintaan kamu kok, aku udah pergi jauh sama Tuhan.
Sebenarnya aku
udah suka sama kamu sejak hari pertama kita pulang bareng. Aku sayang kamu Van.
Tapi begitu tau Faril juga suka sama kamu, aku lebih milih diem buat nyelametin
persahabatanku sama Faril. Aku juga seneng kok begitu tau kalian jadian, semoga
langgeng terus ya.
Oh iya Van,
inget waktu kita ketemu pas malam Natal. Habis kita pisah itu, aku ngawasin
kamu dari jauh buat mastiin kamu udah dapet angkutan umum. Tapi malah kamu
dijambret, terus kepala kamu kebentur badan jalan. Akhirnya aku yang bawa kamu
ke rumah sakit. Kata dokter mata kiri kamu bakal buta. Jadi, aku putusin buat
ngasih mata kiri aku buat kamu, walaupun dokter sempet ngelarang soalnya itu
beresiko. Aku ngga mau ngeliat kamu buta, aku ngga mau ngeliat kamu cacat, aku
ngga mau kamu diejekin temen temen, aku ngga mau kamu menderita. Makanya aku kasih
kamu mataku yang sebelah kiri biar kamu tetep bisa melihat seperti biasa.
Aku ngga pernah
marah sama kamu Van, apapun yang pernah
kamu lakukan sama aku. Waktu kamu mengusirku pun, aku ngga marah. Aku selalu
berfikir bahwa apa yang kamu lakukan itu karena kamu mencintaiku. Kamu sangat
berarti buatku Van.
Aku pamit ya
Van, aku udah ditunggu sama Tuhan. Aku yakin Faril biasa jagain kamu terus
sampe nanti. Biarpun aku ngga pernah jadi pacar kamu, tapi aku tetep sayang
kamu Van.
Salam
Hamsih”
Seketika tangisnya
meledak, dia memeluk Faril dan menceritakan semua kepadanya. Vania meminta
Faril untuk mengantarnya ke makamku. Di sana Vania menangis, meminta maaf atas
semua sikapnya terhadapku. Tanpa meminta maaf aku sudah memaafkanmu. Aku
mencintaimu Vania, walaupun aku tau kamu tidak menyukaiku.