Meraih Angin

Cerpen Romantis kali ini berjudul Meraih Angin karya sahabat kita si Kamal Agusta moga kalian suka dengan cerpen cinta yang satu ini silakan baca jangan lupa share :)



Namanya Windy. Dan aku memanggilnya Wind--Angin.
    Wind gadis yang sempurna, itu menurutku. Wajah cantik dengan tubuh langsing yang proposional. Apabila dia lewat, hampir sebagian murid laki-laki menoleh dan berdecak kagum. Wind juga pintar. Selalu jadi bintang kelas. Mengikuti berbagai lomba, baik akademik maupun non akademik, dan selalu membawa pulang kemenangan. Dan kesempurnaan Wind ditutup dengan orangtua yang kaya raya. Semua keunggulan sepertinya sengaja dititipkan Tuhan pada gadis itu.
    Sekarang kalian pasti bertanya-tanya siapa aku. Aku hanya murid biasa. Tidak tampan. Tidak gaul. Tidak pintar. Dan tidak kaya. Benar-benar biasa.
    "Udahlah, Sat, lupain aja Windy." Begitulah nasihat Ferdi padaku setiap aku kedapatan olehnya menatap Wind penuh puja. "Kau dan Windy itu seperti langit dan kerak bumi. Nggak bakalan bisa nyatu."
    Sejujurnya aku setuju dengan apa yang diucapkan Ferdi. Aku dan Wind terlalu berbeda. Tapi, aku mencintai Wind. Terlalu cinta.
    "Bukannya cinta nggak mengenal perbedaan?" Aku selalu menjawab begitu. Dan, pada akhirnya Ferdi mendengus kesal lalu meninggalkanku begitu saja seraya berkata, "Dasar bebal!"
    Aku memang bebal. Sangat bebal. Saking bebalnya, aku tak peduli dengan cemoohan teman-temanku akan perasaanku pada Wind. Aku selalu percaya, bahwa pada suatu saat nanti, Wind akan tahu bahwa ada satu cowok begitu mencintainya dengan tulus. Dan, Wind pasti akan membalasnya.
    Dan, hari ini apa yang kupercayakan itu terjadi.
    Waktu itu aku baru datang. Wind tiba-tiba menghampiriku. Dia tersenyum manis. Membuat tulang-tulangku seperti kerupuk yang disiram air.
    "Hai, Satria."
    "H-hai," jawabku gugup setengah mati. Sumpah, lututku sampai gemetaran dibuatnya.
    "Ke kelas bareng, yuk!"
    Ajakan itu terdengar seperti "kita pacaran, yuk!" di telingaku. Dan, tentu saja aku mengangguknya terburu-buru.
    Pagi itu menjadi awal terwujudnya segala mimpi-mimpiku akan Wind.
***
    Namanya Windy. Dan, aku memanggilnya Wind--Angin.
    Dulu aku kira Wind adalah angin bagiku. Dia begitu dekat, hilir mudik di depanku. Aku hanya bisa merasakan kehadirannya, sama sekali tak bisa menyentuh.
    Tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi. Karena Wind dan aku sekarang seperti sepasang kekasih, selalu bersama-sama.
    Satu hal yang kunikmati saat bersama Wind adalah sorot kagum dan iri dari cowok-cowok lain. Mungkin mereka tidak mengira bahwa cowok sebiasa aku, bisa duduk berdampingan dengan cewek se-perfect¬ ¬Wind. Bahkan kabar-kabarnya, Justin yang anak pejabat, Reno yang model iklan, Ben yang ketua tim basket, dan seabrek cowok yang segalanya di atasku saja ditolak cintanya oleh Wind. Aku benar-benar mendapat julukan The Lucky Boy.
     "Saat prom besok kamu datang sama siapa?" tanya Wind padaku saat kami sedang duduk di kantin, menunggu pesanan.
    Jujur, selama ini aku tidak pernah menghadiri prom night yang diadakan setiap ulang tahun sekolah. Sudah dua kali aku selalu melewati acara prom night dengan mengurung diri di kamar dengan pikiran mengawang-awang tentang Wind. Apakah Wind datang? Dengan siapa dia datang? Pasti cowok itu beruntung sekali! Ah, andai saja Wind bisa datang denganku. Selalu begitu. Semakin larut, pikiranku semakin menggila. Semua baru berhenti setlah aku capai sendiri dan tertidur.
    "Aku nggak tahu," jawabku jujur. Dalam hati aku sudah ingin menyebut nama Wind, tapi seperti ada batu besar yang menyumbat di kerongkonganku untuk menyebut namanya.
    "Kita datang berdua aja, gimana?"
    ***
     Namanya Windy. Dan, aku tak mau lagi menyebutnya Wind--Angin. Karena saat ini Windy tak lagi menjadi angin bagiku.
    Nanti malam saat prom night aku sudah bertekad untuk menyatakan cinta pada Windy. Aku yakin dia pasti menerimaku karena dia juga mencintaiku. Kalau tidak, mengapa dia mau mengajakku untuk datang bersama di acara spesial itu?
    Sepulang sekolah aku berencana ingin ke mal. Membeli kemeja, jas, dan sepatu baru. Mengorabankan uang saku sebulan. Tak apalah. Ini agar penampilanku menarik. Agar orang-orang bisa melihat kalau aku dan Windy bisa jadi pasangan serasi.
    Bel pulang berbunyi. Aku mengemasi buku-buku dan memasukkan ke tas. Setelah itu aku menyandang tas dan keluar. Sebelum ke mal, aku mau ke toilet dulu. Sudah kebelet sejak tadi.
    Saat aku mau berbelok ke arah toilet, aku melihat Windy. Aku mau menghampirinya. Tapi langkahku terhenti ketika aku melihat Windy tidak sendirian. Dia bersama Ferdi. Dan, mereka sedang berbicara.
    Karena penasaran--mengingat Windy tak pernah dekat sama Ferdi--aku mendekat dengan langkah hati-hati. Tak ingin ketahuan mereka kalau aku ingin menguping.
    "Jadi bagaimana?"
    "Aku dan Satria akan datang bareng ke prom," jawab Windy. Membuat dadaku membusung bangga.
    "Oke. Sesuai janji. Kalau kamu berhasil datang bareng dengan Satria, kamu yang menang."
    "Sudah pasti aku menang, Ferdi. Dan, kamu jangan ingkari taruhan kita. Kamu harus bantu aku dekat dengan abangmu. sampai kami jadian."
    Mendengar itu rasa bangga yang tadi menghinggapku luruh. Dengan perasaan marah dan malu, aku memutuskan pergi. Melupakan keinginanku untuk ke toilet.
    Sesampainya di halte bus, aku teringat sesuatu. Kuambil ponsel lalu mengirim pesan pada Windy.
    Aku btl k prom dgnmu
    Pesan terkirim. Sekarang aku tahu Windy tetaplah angin bagiku. Dan, detik itu aku bertekad untuk meraih Windy. Karena sampai kapanpun  Wind --angin-- tak akan pernah bisa kuraih.
Pekanbaru, 17 Januari 2015