Rembulan Dilahap Awan
Cerpen Romantis yang satu ini merupakan karya riski yang merupakan karya yang sangat menakjubkan silakan di baca deh
Rembulan Dilahap Awan
Oleh: Riski Roma
Dipandangnya burung-burung bertebaran di atas semburat jingga dengan tenang. Tak sia-sia ia mendongak dengan tempo agak lama demi pemandangan yang didamba-dambakan. Namun saja,
ia tak ditemani seseorang pun, membuat moment itu serasa kurang lengkap. Senja kemudian berlalu. Dibuka perlahan jendela untuk mengintip. Apakah ada bintang di sana? Apakah temannya, bulan hadir? Ia hanya menebarkan senyum saat menyapanya.
Alih-alih tersenyum, ia mendengar teriakan yang mengganggu. Seorang lelaki memakai kemeja putih
datang ke rumahnya tanpa diundang. Ia langsung menghampiri lelaki itu dengan penasaran. Diberi wajah gembira lelaki untuknya. Sosoknya tak asing.
"Hei gadis! Aku punya kejutan untukmu."
"Apa─"
Belum sempat ia bertanya lebih jauh, sosok itu langsung menarik tangannya lembut dan membawanya ke danau yang cantik. Danau itu dipenuhi lentera yang mengambang ajaib. Janji alam yang ditunggu-tunggu, cahaya bulan yang terpantul menyinari danau. Di tepi sana sudah disiapkan sebuah perahu bercahaya nan apik. Ia dipersilakan untuk menaiki perahu. Sedangkan pria didekatnya kini mulai mendayung. Suatu hal yang sulit ditebaknya.
Mengapa lelaki itu membawanya ke sini?
Tetapi, pandangannya sekonyong-konyong terarah
pada lentera berbentuk kubus yang jelas berbeda dengan yang lain. Perahu mulai melaju ke tengah
danau tersebut. Melototnya gadis itu membuat dirinya sadar dan
beralih mengarah pada lelaki itu, sampai-sampai perahu yang ditumpangi oleng. Namun, lelaki itu menerkam rasa paniknya dengan menatap wajah ayunya. Ekspresi lelaki itu tak ubah seperti singa yang menatap mangsa. Entah terpana atau apa. Senyum yang disunggingkan membuat hatinya ngilu. Gadis itu seolah memesona. Wajah anehnya membuat pipi gadis itu merona.
Tersipu malu sampai memalingkan wajah ke arah manapun kecuali lelaki dihadapannya.
Lalu, mendongak. Terlihat sinar-sinar manja perlahan memancar entah sejak kapan. Bulan apa yang ingin dia lakukan? Hatinya berucap. Tak terasa kubus itu sudah berada dalam jangkauan.
Lelaki itu meraihnya lembut. Kemudian memberikan pada gadis itu. Lelaki yang dikenalnya sudah lebih dari tiga tahun. Mengapa sikapnya aneh akhir-akhir ini?
Sesuatu yang romantis muncul akhir-akhir ini? Gadis itu tak menganggap sesuatu yang ditujukannya
serius. Malah ia lebih menganggap gimmick yang ditekuninya, bahkan sering sekali ia tertipu. Itulah laki-laki.
***
"Untukmu..." lelaki itu menyudahi tampang terpesonanya kepada gadis itu. Sementara gadisnya
merespon dengan senyum sinis. Sejak lama, ia selalu menduga ketidakseriusan dalam bertingkah terhadapnya. "Gimmick lagi?"
"bukalah lentera ini," wajah cerianya berubah serius. Gadis itu mulai membuka lentera dengan merobek- robek. "Aku membuatnya dengan niat baik, dari hati. Jangan dirobek begitu!" Kelakuannya seolah ranting yang ingin mencakar bulan. Walaupun mustahil, dia ingin terlihat indah, meski kasar. Gadis itu seolah menemukan kebahagiaan yang tersimpan di lentera berbentuk kubus itu setelah dibukanya. Sebuah benda yang membuat setiap wanita manapun tersenyum. Berlian.
"Kamungasih aku cincin?" Gadis itu memperlihatkan. Memasang tampang tidak percaya. Sementara lelaki dihadapannya hanya mengangguk-angguk seraya tersenyum. Mulai diraih tangannya dengan lembut, juga mengambil cincin dari tangannya dengan tujuan ingin memakaikannya. Gadis berambut lurus ini hanya bisa memandang jarinya yang sedang dihiasi berlian. Sesuatu yang sakral rasanya jika hal itu terjadi saat ini. Benar-benar terjadi. Lalu, lelaki itu mencium tangannya mesra dengan kata-kata mengagetkan.
"Aku tak sempurna seperti ranting, aku bukan bulan yang menyinari malammu. Aku juga bukan makhluk tanpa dosa." Jeda sebentar. Mereka bertatapan. "Menikahlah denganku." Sontak gadis itu memeluknya erat. Tuhan, jika memang dia jodohku. Keraguan terhadap laki-laki memang dalam rasanya. Tetapi, lelaki ini dengan beraninya menyatakan syahdu. Ditambah audiovisual yang dirancang sendiri. "Tapi, sebelum pernikahan aku harus pergi untuk beberapa waktu." Gadisnya tersenyum seolah dia memercayai lelaki yang telah lama dikenalnya.
"Lakukanlah. Aku akan menunggu." Dikiranya menunggu laki-laki adalah hal terwajar, tanpa memikirkan hal-hal negatif.
Postive thinking. Malam itu ditutup pemandangan bulan tertutup awan. Menyeramkan rasanya jika harus memandang lebih lama. Degup meresahkan timbul di dadanya seketika.
***
Satu hari berlalu setelah janji indah itu diungkapkan. Tiap malam dipandangnya langit penuh bintang dan cahaya bulan menderang, semakin memperjelas janji alam.
Namun, di malam kemudian hal yang membuat senyumnya luntur tiba-tiba menderanya. Pemandangan yang dikaguminya setiap malam terhalang. Sebuah bangunan menghalangi pandangannya dan sulit rasanya untuk menjumpai, ditambah lagi dengan cuaca buruk yang segera datang.
Keresahan mulai menyelinap hatinya. Lama sekali. Ia benar-benar tahu betapa membosankannya menunggu laki-laki, tetapi ia yakin akan satu hal.
Seorang laki-laki akan berjuang demi gadisnya, melewati rintangan juga dipenuhi pengorbanan.
Sangsi rasanya jika berlama-lama meyakini hal itu. Setelah ia tahu banyak laki-laki yang tega memberikan harapan palsu, dengan kejam merenggut kehormatan dan membuat sakit hati sampai akar-akarnya. Tuhan, semoga tidak.
Namun, kerinduan yang lekat di hatinya semakin membuktikan bahwa cinta bukan sekedar keajaiban di malam hari, bukan angin malam yang berbisik ragu, dan bukan juga kicau burung mengerikan. Kegamangannya akan sesuatu yang bisa membuatnya menderita, terbukti. Lelaki yang ditunggu-tunggunya ternyata sudah kembali dua hari yang lalu. Disambut bahagia olehnya di tempat yang berkesan beberapa waktu. Lelaki itu tampak sedih dan berkali-kali memalingkan wajah juga enggan diraih gadisnya.
"Mengapa wajahmu seperti itu?"
"Aku mau to the point aja, sebelumnya aku minta
maaf." ucap lelaki itu tanpa memegang halus tangannya, tanpa ekspresi aneh menggembirakan hati yang membuatnya merasa memesona. Diamatinya bulan tak menampakkan cahaya, bak dilahap awan tebal yang siap memporak-porandakan suasana. Dan, kata yang keluar dari kekasihnya seolah membuatnya semakin menderita. "Sebenarnya aku sudah menikah."
***
Langkahnya seolah tak bisa beranjak ke manapun. Memandang pujaannya yang melangkah tanpa bersamanya. Kata-kata tajam yang menusuk hatinya masih menancap dalam. Penjelasan yang sulit
diterimanya, sulit dimaafkan. "Aku dipaksa menikah dengan wanita lain, pilihan orangtuaku." Harapan yang sudah pupus. Kejam. Kebahagiaan yang belum memihaknya. Hujan mengguyurnya kemudian, membuatnya frustasi. Bulan yang dicarinya entah ke mana hilang dilahap awan. Dengan hati hancur ia katakan.
"Aku menyesal."[]