MOS
Ini adalah hari pertama aku menginjakkan kaki di tanah lapang hati gembira dan senang. Bukan. Tapi, dunia SMA. Akhirnya, aku bisa keluar dari anak ingusan yang berseragam biru-putih dengan kuncir 12. Sebagai, gadis yang masih ranum dan fresh. Ini kesempatan emas bagiku untuk menggaet cowok keren kalau bisa senior. Bayangan indah, ketabrak kakak senior berkacamata tinggi lalu buku jatuh pas ngambil buku tak sengaja tangan kita bersentuhan dan pas mendongakkan kepala, ternyata dia adalah cowok bermuka abstrak. Ah! Otak ini mulai nggak karuan.
Segala pernak-pernik MOS (Masa Orientasi Siswa) pun sudah rapi dan siap untuk melawan penjajahan. Aku pun menyiapkan strategi jitu agar tidak di bully habis-habisan oleh Osis. Salah satunya, pura-pura pingsan dan jatuh di pelukkan kakak osis ganteng.
"Pak, SMA 2!" teriakku ke sopir angkot. Walaupun agak kurang kece, masak hari pertama masuk SMA harus naik angkot. Tapi, gimana lagi kita kan sedang berada dalam labil ekonomi dan konspirasi kemakmuran yang tak adil dan beradab.
Kulihat semua murid baru heboh dengan aksesoris MOS yang memang diharuskan saat daftar ulang kemarin. Kita pun sebelum memulai acara MOS dikumpulkan di lapangan. Masak sudah jam 8 pagi masih harus apel. Apakah para osis tidak mengerti atau membaca koran perkiraan cuaca wilayah jawa timur khususnya Surabaya. Apa mereka sedang menguji daya tahan tubuh kita terhadap sengatan matahari. Atau muungkin mereka menginginkan kita seperti ikan asin.
Acara apel MOS pun selesai. Namun, tidak selesai dengan penderitaan kita. Kita diharuskan kumpul sesuai nama gugus. Kebutulan nama gugus itu Toraja. Aku pun berkumpul dengan para gugus dengan antribut serba ungu tersebut.
"Kamu?" teriak kakak berwajah sangar dengan mata tajam memanggil namaku.
"Saya, Kak!" jawabku gugup sambil mempertegas kalau kakak berjilbab putih itu memanggil diriku.
"Iya, siapa lagi bolot!" Dengan langkah yang berat, aku berjalan ke arah Kak Adel nama pembina gugus Toraja itu.
"Siapa nama kamu?" bentaknya lagi.
"Mutia, Kak!" ucapku gelagapan sambil menunjukan papan nama yang terbuat dari carton tersebut.
"Apa arti nama kamu?"
Aku pun semakin merinding dan gemetaran. Mutia! Apa ya arti namaku. Kenapa dari dulu, aku tidak pernah nanya arti namaku kepada ayah atau ibu. Dengan otak yang tinggal secuil, aku pun menjawab dengan lantang.
"IMUT DAN SETIA!"
Damn! Semua orang yang mendengar ucapakanku tadi langsung tertawa terbahak-bahak. Mungkin mereka kira aku macan yang berhasil melewati lingkaran api.
Namun, ternayata kenyataan tak sesuai khayalan. Tak ada tabrakan dengan cowok keren ataupun pingsan dan di bopong kakak senior yang ganteng. Semua itu fitnah. Yang ada hanya penyiksaan tiada henti. Mungkin, lebih tepatnya pembangunan mental. Karena, di SMA ini sangat jauh berbeda dengan sekolah lainnya. Yang koordinir murid cewek itu adalah kakak osis cewek dan begitu sebaliknya. Jadi, tak ada namanya caper sama kakak osis ganteng.
Dan lebih parah lagi, aku yang merupakan siswi dodol. Setiap hari, kita diwajibkan untuk setoran hafalan surat pendek minimal 5 surah. Alamak! Aku pun harus belajar mengaji lagi. Sungguh, inilah MOS paling beda yang pernah terjadi. Tidak ada perploncoan ataupun kekerasan fisik, yang ada ibu selalu bilang kepadaku.
"Duh ... anak ibu sekarang rajin ngaji! Alhamdulillah ibu sekolahkan kamu di SMA tersebut."
Ibu saja yang belum mengerti, ini bagiku penyiksaan terindah. Namun, terima kasih buat kakak osis yang mau sabar menungguku selesai hafalan surah pendeknya serta membuat ibuku bangga kepadaku untuk pertama kalinya.[]
_Based true story from my friend_